Dilema Perda LGBT dalam Sistem Demokrasi Sekuler
Oleh. Novi Ummu Mafa
SSCQMedia.Com-Rencana pembentukan peraturan daerah (perda) untuk memberantas penyakit masyarakat, terutama LGBT, di ranah Minang mendapat perhatian luas. Upaya ini sejalan dengan filosofi luhur masyarakat Minangkabau, "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah".
Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang, Srikurnia Yati, mengungkapkan bahwa dari 308 kasus HIV di Padang, 53,8 persen di antaranya berasal dari luar kota, sedangkan 46,2 persen adalah warga setempat, dengan perilaku lelaki seks lelaki (LSL) menjadi salah satu faktor utama penyebab meningkatnya kasus tersebut. (kompas.com, 04-01-2025).
Namun, efektivitas perda semacam ini patut dipertanyakan mengingat konteks hukum dan sistem yang berlaku di Indonesia saat ini, yakni demokrasi sekuler.
LGBT: Buah Pahit Sekularisme
LGBT bukan sekadar fenomena sosial, melainkan produk sistem sekuler yang memberi kebebasan individu tanpa batas, termasuk dalam menentukan orientasi seksualnya. Hak Asasi Manusia (HAM), yang lahir dari sekularisme, menjadi dasar legitimasi bagi perilaku menyimpang ini. Sistem yang menempatkan akal manusia sebagai penentu kebenaran telah menumbuh suburkan berbagai bentuk kemaksiatan, termasuk LGBT.
Sayangnya, perda-perda berbasis syariat yang bertujuan untuk memberantas penyakit masyarakat sering kali mendapat tantangan. Dalam banyak kasus, perda seperti ini dianggap bertentangan dengan kebijakan pusat yang berlandaskan HAM dan demokrasi sekuler. Bahkan, tidak sedikit yang dibatalkan oleh pemerintah pusat. Ini menunjukkan bahwa sistem yang ada tidak memberikan ruang bagi penerapan syariat Islam secara menyeluruh.
Demokrasi Sekuler: Asas Batil Tanpa Solusi Tuntas
Dalam sistem demokrasi, hukum yang diterapkan bersumber dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Asas ini tidak mampu memberikan solusi tuntas atas permasalahan manusia. Penerapan perda syariah di bawah sistem ini hanya menjadi tambal sulam tanpa menyentuh akar masalah. Akibatnya, penyakit masyarakat seperti LGBT terus berkembang.
HAM menjadi penghalang utama bagi penerapan syariat Islam secara kaffah. Selama sekularisme menjadi fondasi sistem negara, upaya memberantas LGBT hanya akan menghadapi jalan buntu. Hanya dengan mengganti asas yang batil ini dengan asas Islam, solusi tuntas atas masalah sosial dapat terwujud.
Islam: Solusi Menyeluruh untuk Perilaku Menyimpang
Islam dengan tegas mengharamkan perilaku LGBT. Tidak diperbolehkan seorang muslim berpegang pada konsep HAM yang justru menjadi alat untuk membiarkan dan menyebarluaskan perilaku ini secara masif. Apalagi jika fakta menunjukkan dampak besar yang merugikan dari perilaku tersebut.
Hubungan erat antara LGBT dengan peningkatan kasus HIV/AIDS yang signifikan (bahkan hingga 20 kali lipat), serta ancaman terhadap pelestarian generasi manusia, merupakan alasan logis untuk menolak perilaku ini. Dalam Islam, kebaikan umat manusia selalu menjadi tujuan utama dari setiap aturan dan larangan-Nya.
Keimanan seorang muslim kepada Allah semestinya cukup menjadi landasan untuk mentaati semua hukum-Nya dengan total. Larangan Allah bukanlah pembatasan tanpa alasan, melainkan perlindungan bagi umat manusia dari kerusakan moral, fisik, dan sosial.
Islam tidak hanya menetapkan larangan, tetapi juga menyediakan langkah-langkah pencegahan dan solusi menyeluruh. Dengan penerapan Islam secara kafah (menyeluruh) dalam kehidupan, perilaku menyimpang ini dapat diberantas secara efektif. Khilafah Islamiah, sebagai sistem pemerintahan Islam, menjadi pelindung yang kokoh dalam mencegah dan menangkal penyebaran perilaku ini, baik secara politik maupun sosial.
Dalam Islam, negara memiliki tiga pilar utama untuk menegakkan aturan Allah Swt. Pilar pertama adalah pendidikan akidah Islam, di mana negara bertanggung jawab menanamkan keimanan yang kokoh kepada masyarakat sejak dini agar mereka memahami dan menjalankan syariat dalam kehidupan. Pilar kedua adalah pengaturan sosial berdasarkan syariat, dengan menutup semua celah yang dapat membuka peluang pelanggaran hukum, termasuk pengawasan terhadap media yang mempromosikan perilaku menyimpang. Pilar ketiga adalah penerapan sanksi yang tegas dan menjerakan. Sistem sanksi dalam Islam tidak hanya berfungsi sebagai hukuman bagi pelanggaran syariat, seperti penyimpangan seksual, tetapi juga sebagai mekanisme pencegahan agar masyarakat takut melanggar aturan Allah.
Urgensi Khilafah sebagai Pelindung Umat
Dalam sistem Islam, negara berfungsi sebagai pelindung dan penjaga umat agar senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah Swt. Khilafah, sebagai sistem pemerintahan Islam, akan memastikan bahwa seluruh hukum syariat diterapkan secara kaffah, termasuk dalam mengatasi penyakit masyarakat seperti LGBT.
Islam tidak hanya memberikan solusi administratif, tetapi juga membangun sistem kehidupan yang berlandaskan akidah, sehingga mencegah penyimpangan sosial sejak akar masalahnya. Sebagaimana firman Allah Swt.: "Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Maidah: 45). [My]
Baca juga:

0 Comments: