Kisah Inspiratif
Doamu Menyertaiku, Ibu
Oleh. Himatul Solekah
SSCQMedia.Com- Rasanya “nyeseeek” banget...., sering mendengar berita seorang anak yang tega membunuh ibu kandungnya sendiri lantaran tidak kunjung dibelikan hp, tidak diberi uang untuk beli rokok, cekcok masalah tanah, sering dimarahi, tertekan, maupun karena permasalahan yang lain.
Tepat sekali jika besarnya perjuangan seorang ibu dalam mendidik putra putrinya hingga dewasa dicetak dalam bentuk buku. Harapannya, semakin banyak anak yang sangat bersyukur bagaimana pun kondisi ibu mereka dan terus memuliakan ibu hingga akhir hayatnya.
Itulah salah satu alasan saya turut berkontribusi dalam menuliskan cerita yang terinspirasi dari kisah nyata. Kisah anak bungsu berkepribadian introvert yang senantiasa dibersamai sang Ibu hingga bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dengan ketaatan kepada Allah Swt..
***
Sepulang sekolah, Ama ingin bermain ke rumah kakaknya yang berada 20 meter dari selatan rel kereta api. Sesampai di depan pintu rumah, ia mengucapkan salam dan bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengganti seragam birunya dengan celana pensil dan kaos lengan panjang. Tak lupa, kerudung selalu ia kenakan saat keluar rumah.
Namun siapa sangka, saat hendak berpamitan ke ibunya yang sedang menjahit baju, Ibu tiba-tiba melontarkan kata-kata yang menohok kepada anak keduanya itu.
“Yoalah, Nak, Nak …, anak perempuan kok tidak mau pakai rok,” ucap ibunya menggunakan bahasa Jawa.
Ama hanya diam dan tersenyum kecil hingga terlihat sedikit giginya. Setelah itu, ia pun berlari keluar rumah dengan memakai sandal slop kesukaannya sambil izin ke ibunya jika mau bermain ke rumah kakaknya.
Di usianya yang masih SMP, waktu terbanyak Ama digunakan untuk bermain bersama teman. Adakalanya ia berenang, bermain alat musik, menemani temannya yang pacaran, bahkan ke rumah nenek temannya sambil mengendarai sepeda motor tanpa sepengetahuan Ibu.
Mengetahui kedekatan Ama dengan teman-temannya, Ibu mulai khawatir jika kebiasaan buruk temannya seperti pacaran bisa berpengaruh pada Ama. Maka ibunya pun berpesan, “Jangan dekat-dekat sama Ita, sukanya bermain dengan laki-laki.”
Tak sedikit pun Ama mengeluarkan kata-kata mendengar pesan dari ibunya. Hanya saja, dia tetap bermain bersama dengan teman dekatnya.
Saat menginjak kelas 9, prosentase bermainnya sudah sedikit berkurang, karena fokus belajar untuk mempersiapkan ujian dan memilih sekolah lanjutan. Harapan dari Ibu, Ama bisa melanjutkan sekolah di SMA Negeri yang tergolong favorit sebagaimana kakaknya. Selain sekolahnya yang berkualitas, kakaknya juga bisa mengajukan bantuan untuk biaya bulanan sekolah.
Di waktu pagi, terkadang Ama mendengar isak tangis Ssang Ibu berdoa memohon kepada Allah Swt. selesai salat malam. Kebiasaan Ibu selalu bangun jam 3.00 pagi untuk salat malam dan mendoakan anak-anaknya agar menjadi anak yang salihah, diberikan kesuksesan, khususnya bisa meraih apa yang dicita-citakan. Kemudian dilanjutkan memasak dan bersih-bersih rumah.
Pernah suatu ketika Ibu melewati SMA Negeri favorit tersebut, ia bergumam dalam hati.
“Apa bisa ya anak-anakku kelak sekolah di sini, karena aku hanyalah seorang pembantu?” Batin Ibu dengan harapan yang besar kedua anaknya bisa sekolah di SMA Negeri favorit.
Tak disangka, Ama pun bisa mengikuti jejak sang kakak melanjutkan sekolah di SMA Negeri favorit di daerahnya. Padahal, secara kemampuan akademik lebih unggul kakak daripada Ama. Rasa senang campur aduk menyelimuti hati Ibu, begitu pun dengan Ama.
Saat di SMA, teman dekat Ama memiliki kepribadian introvert yang hampir sama dengannya. Pendiam, fokus belajar, dan menyukai boyband korea. Sangat berbeda dengan “circle” pertemanan SMP. Al hasil, meski ekstra yang diikuti banyak, tapi diam dan malunya Ama makin menjadi. Sehingga, Ibu pun tidak terlalu banyak berkomentar karena Ama sering di rumah, kecuali jika ada ekstra atau tugas kelompok.
Tiga tahun sudah berlalu, kini waktunya Ama lulus dari SMA dan memikirkan apa yang akan dilakukan berikutnya. Bekerja, atau melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Ibu berharap Ama bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Menurut beliau, lulusan SMA lumayan sulit mencari pekerjaan. Berbeda dengan yang sudah lulus kuliah, lebih mudah mendapatkan pekerjaan karena sudah memiliki gelar.
Harapan Ibu cukup kuat karena melihat kakaknya bisa kuliah dengan beasiswa penuh. Sehingga Ama pun didorong agar bisa melanjutkan kuliah. Hanya saja, Ibu sudah menyampaikan jika tidak bisa membiayai kuliah, sehingga diupayakan untuk mencari bantuan atau beasiswa.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Tak lepas dari usaha dan doa, Ama diterima di Perguruan Tinggi Negeri. Namun sebelum diterima, ia sudah bernazar kepada Allah. Jika bisa kuliah, dia akan menggunakan rok dan bergabung dengan organisasi keislaman di kampus.
Berdasarkan nazar itu, Ama mulai mau menggunakan rok saat masuk kuliah. Meski terkadang masih menggunakan celana. Ia pun juga mencari organisasi keislaman yang mau ia ikuti.
Hari demi hari ia lalui, teman dekatnya bisa dihitung jari. Hampir tidak ada teman yang benar-benar dekat dengan Ama, karena ia merasa malu dan bingung juga mau berteman dengan siapa. Sehingga lebih menonjolkan pendiamnya.
Di sisi lain, Ama sudah menemukan organisasi keislaman yang mau diikuti. Di organisasi tersebut Ama rutin mengkaji Islam, hingga suatu saat ia mendapatkan ilmu terkait cara berpakaian seorang muslimah.
Ia mulai memahami jika aurat yang boleh terlihat hanyalah muka dan telapak tangan. Dan pakaian seorang muslimah saat keluar rumah yaitu menggunakan jilbab yang dijelaskan dalam QS. Al-Ahzab ayat 59 dan khimar yang dijelaskan dalam QS. An-Nur ayat 31.
Kemudian Ama diberi jilbab oleh guru ngajinya agar digunakan saat kuliah. Bahkan, ketika pulang ke rumah, Ama juga menyampaikan ke ibunya terkait pakaian seorang muslimah saat keluar rumah harus menggunakan rok terusan atau bahasa kerennya gamis/jubah.
Mendengar itu, sang Ibu sangat senang dan mendukung pakaian anak bungsunya. Beliau bahkan menjahitkan sendiri pakaiannya untuk dikenakan Ama saat keluar rumah.
Meskipun Ama seorang anak yang pemalu dan pendiam, tapi jika mendengar kebaikan, ia selalu berusaha untuk melakukannya. Apalagi jika Allah yang memerintahkannya.
Semua ini tak lepas dari hasil pembinaan Islam yang ia dapatkan. Ama mulai berpikir dan terbentuk pemahamannya, hingga berdampak pada perilakunya untuk terus berusaha menjadi insan yang bertakwa.
Selain itu, kemudahan Ama dalam menerima kebaikan Islam tak lepas dari doa Ibu yang senantiasa menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang salihah, yaitu anak yang senantiasa melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. [Ni]
0 Comments: