Headlines
Loading...
Gelombang PHK Massal, Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme

Gelombang PHK Massal, Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme

Oleh. Novi Ummu Mafa

SSCQMedia.Com-Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal melanda dunia. Tidak hanya terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, fenomena ini juga menyapu Indonesia, meninggalkan jutaan pekerja dalam ketidakpastian hidup. Baru satu pekan di tahun 2025, sudah ada perusahaan yang akan melakukan PHK sebesar empat ribu pekerja, dan itu berasal dari industri padat karya. (Cnbcindonesia.com, 08-01-2025)

Tidak hanya di dalam negeri, sejumlah perusahaan besar di Eropa juga melakukan PHK massal, lantaran kondisi ekonomi yang makin tak menentu. (Republika.co.id, 22-11-2024). sementara di sektor lokal, kebijakan impor dan tekanan persaingan global membuat banyak industri gulung tikar.


Kapitalisme: Mesin Penghancur Kemanusiaan

Kapitalisme global adalah akar dari krisis yang melahirkan PHK massal. Sistem ini beroperasi dengan satu tujuan yakni memaksimalkan keuntungan. Dalam logika kapitalisme, produksi tidak didorong oleh kebutuhan nyata manusia, tetapi oleh nafsu tak terbatas untuk pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, terjadi kelebihan produksi yang tidak terserap oleh pasar karena daya beli masyarakat terus menurun.

Di sisi lain, kapitalisme menciptakan ketimpangan struktural. Perusahaan-perusahaan raksasa multinasional memonopoli pasar, sementara perusahaan kecil dan lokal mati perlahan akibat persaingan tidak sehat. Di Indonesia, kebijakan impor yang masif demi menjaga stabilitas harga justru menghancurkan industri dalam negeri. Pabrik-pabrik tutup, dan ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian.

Ketika PHK terjadi, dampaknya lebih dari sekadar angka. Kapitalisme menciptakan gelombang masalah sosial antara lain, kemiskinan, kelaparan, hingga meningkatnya angka kriminalitas. Ironisnya, dalam sistem kapitalisme, masalah-masalah ini dianggap sebagai "biaya" yang tak terhindarkan demi menjaga stabilitas ekonomi global.


Kegagalan Sistem Kapitalisme

Kapitalisme adalah sistem yang memuja pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan distribusi kekayaan yang adil. Dalam sistem ini, hanya segelintir elite yang menikmati hasil produksi, sementara mayoritas rakyat terjebak dalam kemiskinan, daya beli menurun, ekonomi ambruk, dan pekerja dikorbankan untuk menyelamatkan neraca keuangan perusahaan.

Kapitalisme tidak hanya gagal memenuhi kebutuhan dasar manusia, tetapi juga menjadi penyebab utama krisis yang berulang. Dari Great Depression 1929-1939 hingga krisis finansial 2008, pola yang sama terus terulang. Keserakahan segelintir elite menghancurkan kehidupan miliaran manusia. Sistem kapitalisme tidak pernah memprioritaskan kesejahteraan manusia sistem ini hanya peduli pada angka-angka keuntungan.


Keadilan Ekonomi dalam Sistem Islam

Kapitalisme tidak mampu menjamin kesejahteraan pekerja secara hakiki, sebab asas yang digunakan adalah keuntungan sebesar-besarnya bagi para pemilik modal, sementara tenaga kerja hanya menjadi alat produksi yang bisa digantikan kapan saja.

Sebaliknya, Islam memiliki paradigma ekonomi yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan setiap individu masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Dalam naungan Khilafah, mekanisme penyelesaian persoalan PHK bukan hanya bersifat tambal sulam, tetapi menyentuh akar masalah dengan menata ulang sistem kepemilikan, mekanisme ketenagakerjaan, dan distribusi kesejahteraan berdasarkan hukum syariat.


Pengaturan Kepemilikan yang Adil

Islam membagi kepemilikan harta menjadi tiga kategori, kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Pembagian ini menjadi fondasi utama dalam menciptakan keseimbangan ekonomi yang meniadakan dominasi korporasi atas sumber daya strategis. Dalam sistem kapitalisme, privatisasi aset publik telah menyebabkan ketimpangan yang semakin melebar, di mana industri vital seperti pertambangan, energi, dan sumber daya alam dikuasai oleh segelintir elite bisnis. Sementara itu, rakyat yang seharusnya menikmati manfaatnya justru terpinggirkan dan kehilangan akses terhadap sumber daya tersebut.

Islam menempatkan kepemilikan umum sebagai hak seluruh rakyat, bukan segelintir kapitalis. Negara bertindak sebagai pengelola, bukan pemilik, sehingga hasil dari industri strategis akan didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, negara dapat menciptakan lapangan kerja luas dalam sektor-sektor produktif seperti pertambangan, pertanian, energi, dan industri berat tanpa terjebak dalam eksploitasi tenaga kerja yang berbasis keuntungan korporasi.


Mendorong Produktivitas dan Kemandirian Individu

Salah satu prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam adalah mendorong setiap individu untuk bekerja sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi. Negara bertanggung jawab menyediakan berbagai sarana yang memungkinkan rakyat memperoleh pekerjaan yang layak. Dalam sistem Islam, tidak ada istilah pengangguran sistemik sebagaimana yang terjadi dalam kapitalisme.

Negara juga dapat memberikan modal kepada individu yang ingin memulai usaha, baik dalam bentuk pinjaman tanpa riba maupun dalam bentuk bantuan modal produktif. Selain itu, negara juga menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan keterampilan agar setiap individu mampu berpartisipasi dalam sektor ekonomi yang sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Dengan demikian, tidak hanya lapangan pekerjaan yang terbuka luas, tetapi juga kemandirian ekonomi masyarakat dapat terwujud secara kolektif.


Keadilan dalam Sistem Upah

Dalam sistem Islam, upah pekerja tidak ditentukan berdasarkan standar minimal yang sering kali tidak mencerminkan nilai kerja yang sesungguhnya, tetapi berdasarkan manfaat tenaga kerja yang diberikan (manfa’at al-juhd). Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang menetapkan upah berdasarkan daya tawar buruh yang lemah, sehingga sering kali mereka menerima gaji di bawah standar kesejahteraan.

Jika terjadi perselisihan antara buruh dan majikan dalam penentuan upah, Islam menetapkan mekanisme penyelesaian yang berbasis keadilan. Pakar (khubara’) dari kedua belah pihak akan menentukan upah yang sepadan (ajr al-mitsl). Jika tidak terjadi kesepakatan, negara akan menunjuk pakar independen yang keputusannya harus ditaati oleh kedua belah pihak. Dengan mekanisme ini, eksploitasi tenaga kerja dapat dicegah, dan keadilan dalam hubungan industrial dapat diwujudkan.

Penetapan upah dalam Islam juga tidak memerlukan regulasi semacam upah minimum regional (UMR), karena dalam Islam, upah bukanlah instrumen politik ekonomi yang bisa diintervensi oleh negara secara sepihak. Upah merupakan hak pekerja yang harus dibayar berdasarkan kesepakatan yang adil, bukan berdasarkan tekanan pasar tenaga kerja yang cenderung merugikan pihak buruh.


Islam sebagai Solusi Hakiki bagi Kesejahteraan Pekerja

Islam dengan sistem ekonominya yang berbasis syariah mampu memberikan solusi yang komprehensif terhadap persoalan tenaga kerja. Dengan pengaturan kepemilikan yang adil, mekanisme kerja yang berbasis keadilan, serta kebijakan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan umat, sistem Islam menawarkan solusi yang tidak hanya mengatasi masalah PHK, tetapi juga mencegahnya sejak awal.

Namun, sistem ekonomi Islam tidak dapat berjalan tanpa adanya sistem politik Islam, yaitu Khilafah. Khilafah adalah institusi yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, termasuk dalam bidang ekonomi. Dengan Khilafah, kebijakan ekonomi tidak lagi didikte oleh kepentingan kapital global, tetapi diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim.

Khilafah akan memastikan bahwa sumber daya alam dikelola untuk kepentingan umum, bukan untuk keuntungan korporasi atau investor asing. Dalam naungan Khilafah, negara tidak akan tunduk pada tekanan lembaga-lembaga kapitalis seperti IMF atau Bank Dunia. Sebaliknya, Khilafah akan membangun ekonomi yang mandiri, berkeadilan, dan berkelanjutan. [My]

Baca juga:

0 Comments: