Oleh. Arumintantri Azizah
 
SSCQMedia.Com- Setiap bercerita tentang sosok ibu, mataku selalu basah. Perjuangan dan pengorbanannya tak akan bisa kubalas sampai kapanpun.

Tulisan ini kupersembahkan untukmu, Bu. Sebagai bentuk rasa sayang dan takzimku kepadamu.

Keluargaku

Ibuku seorang guru SD Negeri dan bapakku kepala sekolah SD Negeri. Keduanya adalah PNS di era orde lama.

Aku anak keempat dari lima bersaudara, Mas nomor pertama dan Mbak nomor kedua. Hampir dibilang aku tak begitu kenal karena jarak kami yang sangat jauh. Ketika aku TK, Mas dan Mbak sudah sekolah di kota kabupaten, pulang kadang sebulan sekali dan kadang tidak pulang pulang. Sementara Mas yang nomor tiga sama sekali aku tak kenal karena dari lahir dia diasuh oleh eyang putri (ibu dari ibuku). Aku baru bertemu dengan mas nomor tiga ketika eyang meninggal, jadi keseharianku hanya dengan ibu dan adikku yang bungsu.

Menjadi anak seorang guru di orde lama suatu kehormatan sendiri, yaitu mendapatkan privilege dari masyarakat.

Masa kecil

Aku lahir tahun 1979. Kenangan di usia lima tahun hanya sekelumit saja yang kuingat.

Aku tinggal di suatu desa di kecamatan, rumahku besar dengan taman di tengah yang menyambungkan antara rumah utama dan dapur. Ibu orangnya apik dan estetis, senang menanam dan merawat bunga. Yang kuingat di rumah besar itu, aku hanya bertiga dengan ibu. Aku sering menonton televisi dengan teman-teman di rumahku. Kala itu, dalam satu kampung yang kuingat hanya bapak yang punya motor. Jadi bisa dibilang saat itu kehidupan kami cukup mapan.

Bapak adalah kepala sekolah SD yang bertugas di kota kabupaten. Jaraknya lumayan jauh dari rumah kami sehingga bapak jarang  pulang. Kadang seminggu sekali atau bahkan satu bulan sekali. Jadi tak banyak kenangan bersama bapak. Satu kenangan yang kuingat bersama bapak adalah ketika aku pulang dari  main di sore hari, bapak pulang dengan Vespanya dan aku dibonceng bapak, selebihnya tak ada kenangan apapun dengan bapak.

Pindah rumah

Aku tak tahu ada masalah apa antara ibu dan bapak, yang aku tahu ibu dan bapak setiap ketemu sering berantem.

Dan suatu hari ibu bilang, "Nduk, kita akan pindah, pindah ke tempat yang jauh ya, Nduk. Hanya kita bertiga."

Selang beberapa hari setelah ibu bilang,  semua barang-barang itu diangkut oleh truk dan kami pun pindah, hanya bertiga. 

Ibu pindah dan tinggal di rumah dinas, tak banyak barang yg dibawa ibu, hanya kasur, tempat tidur, peralatan dapur, tak ada lagi motor di rumahku. Kala itu usiaku kurang dari 6 tahun, tak kurasakan kesedihan berpisah dengan bapak karena memang aku tak begitu dekat dengan bapak.

Masa kecilku

Masa kecilku diawali dengan kepindahan, ya pindah rumah. Rumah yang besar dan nyaman itu aku tinggalkan dan aku harus pindah bersama ibu.
 
Pindah dari desa di kota kecamatan yang maju ke desa IDT( Inpres Desa Tertinggal)  yang jauh dari mana-mana, di desa yang terpencil, desa di gunung kapur, tidak ada listrik dan tak ada sumur di rumah. Desa yang sangat tandus, di desa inilah kisah hidupku dimulai.

Cerai

Oh ternyata sebab ibuku dipindahkan karena ibu mengajukan cerai, zaman itu ketika pegawai negeri bercerai maka salah satu harus dimutasi/dipindahkan dan ibuku dipindahkan ke desa IDT, sebut aja desa J. Di mulai dari sinilah aku bisa melihat bagaimana sosok ibuku. Sosok yang sangat luar biasa bagiku, sosok yang pantang menyerah dan seluruh hidupnya hanya untuk anak-anaknya saja. Hak asuh aku dan adikku jatuh ke ibu, sementara mas no 1 dan mbak no 2 jatuh ke bapak, mas yang no 3 tetap diasuh oleh eyang putri.

Masa SD

Masa SD ini, masya Allah, luar biasa indah.  Penuh dengan cerita dan kenangan indah bersama teman dan ibu.

Tak mudah bagi ibu, pindah ke desa yang tidak kenal siapa-siapa dengan status janda 2 orang anak. Banyak godaan yang datang, banyak temen kerjanya yang  membicarakan. Setiap malam banyak yang mengetuk pintu rumah, ibu sering marah dan memaki maki dari dalam rumah.

Ibu bilang, "aku bukan janda yg bisa di remehkan!" Dengan pertimbangan inilah akhirnya ibu memutuskan untuk menikah lagi dengan harapan harga diri ibu terjaga, tidak disepelekan sebagai janda.

Pada pernikahan yang kedua ini, ibu menaruh harapan besar, semoga kejadian yang pertama tak terulang lagi. Tiga bulan pertama pernikahan masih aman. Setelah lepas 3 bulan barulah suami baru ibu mulai terlihat aslinya. Kasar, arogan, suka memukul. Inilah yang membuat ibu sering meneteskan air mata. Punya suami seakan-akan tak punya suami. Semua biaya hidup harus ditanggung oleh ibu, biaya anak sekolah sampai bayar listrik semua ditanggung oleh ibu. Suami yang hanya bisa memerintah tanpa memberi nafkah, membuatku muak dengan sikapnya. Padahal aku saat itu masih kelas 2 SD. Rasa benci menyusup di hati karena hampir setiap hari melihat ibu menangis. Pilu tapi aku tak bisa apa-apa. 

Setiap ibu menangis aku hanya bilang, "Ibu, kenapa nangis?" Dan ibu hanya jawab, "nggak apa-apa, Mbak." Sambil tersenyum. Oh, ibu ....

Bapak Kandung dan Bapak Tiri

Sosok bapak di benakku hampir dibilang tidak ada. Kalau ditanya apa kenangan dengan bapakmu? Ya, aku akan jawab enggak ada kecuali sekali naik vespa, karena memang tak ada.

Hampir 1 tahun aku pindah ke kota J. Hanya sekali bapak kandungku datang, ibu tak menghalangi aku untuk ketemu dengan bapak. Cuma ibu bilang, "Nduk, ojo deket-deket yo, Nduk."

Dan setelah itu aku tak pernah bertemu lagi dengan bapak. Pertemuan terakhir dengan bapak ketika aku SD.
 
Lain dengan bapak tiriku, hampir semua yang dilakukan bapak tiriku aku ingat semua. Sosok bapak yang tak layak disebut bapak, memperlakukan ibu tak seperti istrinya. Kerja bapak tiriku ini berangkat pagi pulang sore. Kalau malam ada orang hajat, semalaman tak pulang-pulang. Astaghfirullah, semoga Allah ampuni dosa-dosanya.

Belajar dari Teman

Di desa J ini aku belajar banyak ilmu hidup dari teman-temanku. Mereka rata-rata adalah anak petani dan pedagang tempe. Dari teman-teman inilah aku belajar membuat tempe, juga menanam jagung dan padi. Masya Allah, ilmu yang tak kudapatkan dari bangku sekolah.

Karena ibu mengajar dari pagi sampai jam 1, sementara aku pulang sekolah jam 10. Aku sering main dengan teman teman sebayaku dan baru pulang ketika waktu Zuhur. Aktivitasku itu-itu saja. Sekolah, main, ngaji , mengarit, menjadi buruh tandur atau buruh ulur, menggembala kambing, mengambil kayu bakar dan ambil daun jati untuk bungkus tempe. Justru aktivitas inilah yang membuatku menjadi sosok yang kuat dan mandiri.

Sering ibuku bilang, "Nduk, udah Nduk, nggak usah ikut nandur. Panas, Nduk." Tapi semua larangan ibu tak kuhiraukan.

Pernah suatu saat ibu bertanya, "Mbak, kalau udah besar mau jadi apa?" Kujawab, "Mau jadi petani hebat, Bu." Tapi dalam hati aku berkata, "Aku mau jadi guru kayak Ibu." Ibu hanya tersenyum mendengar jawabanku, "Mosok dadi wong tani tho, Nduk."

Ibu bertanya lagi, "Entar, kalau udah besar, mau punya rumah kayak gimana, Nduk?". 
Aku menjawab, "Aku mau punya rumah yang besar, Bu, yang tingkat dan punya halaman yang luas." Mendengar jawabanku itu ibu hanya tersenyum.

Ahli ibadah

Selama membersamai ibu, aktivitas ibu mengajar, menanam bunga dan sayuran, bermain pianika, mengaji dan salat.

Setiap malam tak pernah lepas dari salat dan mengaji, beliau selalu mengajarkan tidur setelah Isya dan bangun di sepertiga malam.  Bangun jam 2 sampai pagi ibu tak pernah tidur lagi dan aktivitas itu ibu kerjakan sampai ibu tutup usia. Puasa Senin Kamis tak pernah henti. Bahkan kalau aku mau ujian, ibu selalu puasa khusus untuk aku. Puasa Daud pun beliau rutinkan. 

Lisannya dipenuhi dengan zikir kepada Allah, perkataannya sopan dan halus. Senakal-nakalnya aku ketika kecil, tak pernah kudengar suara kencangnya memarahiku. Aku selalu ditegur dengan cara yang baik. Masya Allah, ibuku. Wanita yang sangat luar biasa.

 Untaian doa selalu mengalir untuk anak-anaknya. Beliau selalu bilang, "Maafkan Ibu tak bisa memberikan kehidupan yang layak buat kalian, tapi doa Ibu selalu untuk kalian. Semoga kalian semua merasakan kebahagiaan."

Al Fatihah untukmu, Bu ....

Gajian

Setiap tanggal 1, ibu  terima gaji dan beras. Karena aku anak no 4 yang akhirnya jadi anak sulung, aku adalah teman ibu bercerita.  Segala sesuatu diceritakan walau kadang aku tak tahu apa yang ibu ceritakan.

Ibu bilang, "Nduk,  gaji ibu belum dikasih semua. Ntar kalau udah 3 bulan, gaji ibu baru bisa diambil semua."

Beras yang terima ibu beras pera yang bau dan tak enak dimakan. Biasanya aku yang disuruh ibu untuk menjual beras ke warung sayur dan dibelikan beras baru. Satu karung beras isi 25 kg jatah dari pemerintah, kalau dijual dan dibelikan beras baru paling hanya dapat 5 kg saja. Kehidupan ibu setelah pisah dengan bapak penuh perjuangan, hanya mengandalkan gaji 300 ribuan saja , enggak akan cukup buat satu bulan, selebihnya kami makan seadanya saja.

Binatang Ternak

Karena di kampung J sebagian penduduknya petani dan peternak, ibu pun juga memelihara ternak. Ternak yang dipelihara ibu adalah ayam dan kelinci.

Setiap hari pekerjaanku menyapu dan membersihkan kandang ternak. Kalau kami tidak ada lauk, kami potong. Sayuran tinggal ambil dari kebun yang ditanam ibu di samping rumah. Kalau ibu tak bisa beli minyak tanah untuk masak, aku akan mencari ranting kering buat bahan bakar di tungku. Ibu tak pernah mengeluh sama sekali dengan kondisinya. Selalu sabar. Hidup yang Allah berikan selalu disyukuri.

Masa SMP

Aku memang tak bisa membalas ibu dengan apa pun, cuma belajar dan belajar saja yang bisa kulakukan untuk membuat ibuku bangga. Meraih nilai tertinggi di SD adalah hal yang kuimpikan agar aku bisa di sekolah SMP negeri. Alhamdulillah dengan doa ibu, usaha yang sungguh-sungguh dan atas izin Allah , aku mendapatkan nilai tertinggi di sekolahku dan bisa melanjutkan sekolah di SMPN 1. Jarak dari rumah ke sekolahku sekitar 8 kilo. Jarak itu tak bisa ditempuh dengan jalan kaki lagi. Mau tidak mau aku harus menggunakan sepeda.

Sepeda Baru

Aku mendaftar ke SMP ditemani oleh ibu. Segala sesuatu diurus oleh ibu, sampai akhirnya pengumuman SMP diumumkan, Alhamdulillah, hasilnya aku diterima.
 
Masalah berikutnya yang harus aku hadapi adalah cara bagaimana aku ke sekolah. Sementara aku tak punya kendaraan apa pun. Akhirnya ibu membelikan aku sepeda mini dengan keranjang hitam di depannya.  Bahagia rasanya ketika dapat sepeda baru. Setiap hari aku ke sekolah naik sepeda. Naik turun bukit. Teman-teman SMP-ku kebanyakan laki-laki karena pada tahun itu masih jarang di kampungku anak perempuan bersekolah. Rata-rata anak perempuan di kampungku, begitu lulus SD mereka merantau ke luar kota.

Begitu menginjak SMP aku yang dulunya  suka main keluar, menjadi anak rumahan, karena aku enggak punya teman seusiaku.  Mereka sudah bekerja semua.

Hari-hari di masa SMP-ku hanya kuisi dengan aktivitas berangkat sekolah, pulang sekolah , membantu ibu di rumah dan fokus belajar. Sehingga aku menjadi juara kelas terus.  Ketika SMP aku ikut organisasi PMR, Pramuka , Rohis. Bahkan, aku terpilih menjadi Ketua OSIS.

Lomba-lomba yang kuikuti di SMP semuanya kulakukan buat ibu, untuk membahagiakan ibu, dan untuk sedikit membalas jerih payah ibu.

Masa-masa SMP masa di mana mengenal yang namanya cinta monyet. Teman-temanku banyak yang melakukan itu, sementara aku sibuk dengan sekolahku. 

Ibu kadang bertanya-tanya, "Mbak. Mbak emang nggak punya pacar?"  

Aku menjawab, "Nggak punya, Bu. Aku nggak mau pacaran."  

Di hatiku  memang sangat membenci sosok laki-laki, di pikiranku yang namanya laki-laki itu tidak bertanggung jawab. Kenapa aku bisa bilang begini? Karena begitu ibu menikah lagi, bukan sosok ayah yang baik yang aku dapatkan, tapi laki-laki yang tak bertanggung-jawab dan kasar kepada istrinya.  Sering aku melihat ibu menangis di belakang rumah karena perlakuan laki-laki. Suami kedua ibu, sungguh kasar!

Maka aku memutuskan untuk tidak pacaran. Hampir setiap hari aku mendapatkan surat cinta dari temen SMP  tapi aku abaikan dan kubuang ke tempat sampah.

Tiga tahun masa SMP kulalui dengan mulus. Segudang prestasi kudapatkan sampai akhirnya aku lulus SMP.

Masa SMA

Lulus SMP dengan nilai yang bagus, membuat ibu bahagia. Aku pun masuk SMA. Tak sulit bagiku untuk melanjutkan ke SMA negeri, baik di kota kecamatan ataupun di kota kabupaten. Dengan berbagai macam pertimbangan ibu memutuskan memasukkan aku ke SMA di kabupaten yang berjarak kurang lebih 2 jam jika menggunakan bus. Masa SMA inilah masa di mana aku harus berpisah dengan ibu. Merantau untuk mencari ilmu bekal di masa depan. Ketika SMA inilah nalarku mulai matang. Aku makin melihat perjuangan dan pengorbanan ibu itu sangat luar biasa. Salah satu pertimbangan ibu menyekolahkan aku ke SMA di kota kabupaten adalah aku sudah mulai masuk masa baligh, sementara aku punya bapak sambung yang bisa dibilang bapak sambung yang kurang bisa bertanggungjawab.

Di kota kabupaten sebut aja kota S aku kost di kost-kostan khusus putri. Teman sekamarku adalah temen SMP-ku dulu, cuma kami beda sekolah saja.

Ibu sering berpesan, "Mbak, belajar yang rajin. Ibu nggak punya banyak harta dan uang, ibu nggak bisa ninggalin harta. Ibu cuma bisa ninggalin ilmu. Dengan ilmu yang Mbak punya, insyaallah Mbak akan bisa bertahan hidup di dunia ini. Prihatin ya, Mbak. Ibu hanya bisa ngasih uang seminggu sekali. Cukup nggak cukup, harus cukup ya, Mbak."

Masa SMA ini aku lebih berusaha keras untuk belajar karena aku punya cita-cita untuk masuk ke UNDIP. Tak kusia-siakan waktu yang ada. Setiap malam aku hanya fokus untuk belajar dan belajar. Setiap ulangan harian nilai yang kudapatkan di atas 9 hampir 10. Ketika SMA aku sudah bisa cari uang dengan cara memberi materi tambahan kepada temen sekelas dengan cara les privat.

Di saat SMA ini karena uang yang diberikan ibu sedikit, aku sering puasa Daud atau Senin Kamis. Alhamdulillah kulakukan tanpa ada rasa paksaan m, aku rida dengan keadaan yang ada.

Telur Ayam

Selama SMA kadang aku pulang seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali. Bekal uang yang aku pakai buat bekal kost adalah uang hasil jualan telur ayam. Ayam yang dipelihara ibu setiap hari bertelur dan dikumpulkan ibu. Ketika aku pulang telur ayam itu akan aku bawa ke tukang sayur dan kujual. Kalau hasil penjualan telur kurang, ibu akan menjual ayam untuk menambahi uang sakuku.

Menjelang tahun kedua SMA, aku mulai memikirkan bapakku, karena aku harus mulai mencari kuliah mana yang akan kutuju.
Ibu sudah bilang, "Mbak, maafin ibu ya, Ibu udah nggak sanggup buat biayain kuliah Mbak. Jadi habis SMA entar Mbak ke Bekasi aja, ya. Cari kerjaan. Kalau udah dapat kerja nntar ditabung trus Mbak bisa kuliah." 

Aku tak sakit hati ketika ibuku bilang begitu, karena aku tahu kemampuan ibuku. Guru SD negeri di zaman orde lama yang harus menghidupi dua orang anak, sekaligus punya suami yang tidak bertanggung-jawab.

Akhirnya aku putuskan untuk mencari bapak kandungku. Bukankah memang seharusnya bapaklah yang bertanggungjawab terhadap nafkah kami? Tapi sejak berpisah aku tak pernah bertemu sama sekali. Ke mana aku harus mencari bapak?

Rupanya takdir berpihak padaku. Teman SMA-ku ternyata bertetangga dengan bapak kandungku. Dengan tekad yang kuat aku memberanikan diri untuk bertemu dengan bapak kandungku. Dengan modal ongkos yang diberikan ibu, aku naik bus dari kota S menuju kota G dengan jarak tempuh 1 jam. Turun dari bis aku harus berjalan kaki menuju SD tempat bapakku bertugas kurang lebih 45 menit. 

Begitu bapakku tahu aku datang, bapak cuma bilang, "Mbak, saat ini kan Bapak udah menikah lagi dan Bapak punya anak. Jadi Bapak harus membiayai anak dan istri Bapak yang sekarang ."

Saat itu aku hanya diam saja, tapi dalam hatiku bergemuruh. Bapakku lebih memilih mengurus anak tirinya daripada anak kandungnya. Sakit, ya Allah. Aku tak berkata apa-apa. Cuma diam dan menitikkan air mata. Ya Allah, ya Rabb ..., aku ingin kuliah.

Hancur rasa hati, setelah 11 tahun aku bertemu dengan bapak, harapan itu tak ada lagi. Pulang dengan luka. Aku anakmu, Pak. Anak yang harusnya kau urus. Tapi sudahlah, masih ada Allah.

Pertemuan dengan bapak setelah 11 tahun tak kuceritakan ke ibu , aku hanya kembali fokus belajar dan berkutat dengan buku. Aku tetap bercita-cita untuk melanjutkan kuliah setelah lulus SMA.

Tiga tahun berlalu. Hari kelulusan itu datang juga. Dengan nilai di tangan rata-rata 9,  kuadukan nasibku ke Allah, hingga ibu bilang, "Mbak, maafkan Ibu, Ibu tak bisa membantu Mbak untuk kuliah. Masih ada adik yang perlu biaya sekolah juga." Lalu ibu memintaku untuk datang ke rumah kakakku yang nomor dua, Mbak E, yang saat itu sudah bekerja di Bekasi.

Merantau

Bismillah. Dengan tas besar aku diantar ibu ke terminal.

"Bismillah ya, Mbak. Ibu cuma bisa mendoakan yang terbaik buat Mbak." Sambil berlinang air mata ibu melepasku.

Aku menempuh jarak 12 jam perjalanan naik bus. Di terminal Bekasi aku dijemput sama Mbak E. Alhamdulillah walau aku tak begitu dekat dengan Mbak E tapi Mbak E ini sangat baik kepadaku. Sesampainya di rumah Mbak E, aku ditanya-tanya, "Nduk, kamu mau kuliah atau kerja?" Aku menjawab," Yo pingin dua-duanya, Mbak."

Lelah karena perjalanan jauh. Malam itu aku tertidur nyenyak, malam harinya mas iparku pulang dari tempat kerja dan berdiskusi dengan Mbak E soal aku. Mbak E juga menunjukkan ijazahku ke suaminya.

Pagi harinya.
"Nduk, siap-siap ya. Kita berangkat," kata Mbak E.

Kutanya, "Berangkat ke mana, Mbak?"

"Kuliah. Aku lihat di brosur hari ini terakhir pendaftaran mahasiswa baru di jurusan baru IPB. Yuk, berangkat!". 

Tak percaya tapi nyata, bahagia dan haru jadi satu. Ya Allah, benarkah ini?

Pagi itu aku berangkat dari terminal Bekasi menuju Bogor dengan tujuan kampus impianku IPB.

Ya Allah, Ya Rabb. Kau lambungkan doaku. Kau tembuskan doa ibuku sampai ke langit ketujuh. Tada dan upaya kecuali atas kehendak-Mu, ya Allah.

Maha benar Allah dengan segala firman-Nya dalam surah At Talaq ayat 2-3.

Artinya: "Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu. (TQS. At Talaq: 2-3). 

Teruntuk Mbak E, doa yang baik selalu untukmu. Tak ada catatan buruk yang aku lihat darimu. Begitu hebatnya engkau gantikan peran ibu untuk melindungi adik-adikmu. Surga untukmu, Mbak. Al Fatihah untukmu.

Itulah kisah dua wanita hebat dalam hidupku. Mereka berjuang di tengah-tengah gempuran kapitalisme tapi tetap kokoh berdiri dengan bersandarkan kitabullah.

Di penghujung akhir tahun ini, kuingin wujudkan impianmu, Bu. Menulis dan menulis, melanjutkan dakwah dan perjuanganmu. Kesabaran dan keikhlasanmu akan kutularkan kepada anak-anakku, Bu. Insyaallah:kita akan berkumpul kembali di surga-Nya. Amin.

 "Ya Allah, berikanlah ampunan, kasih sayang, afiat, dan maaf untuk mereka. Tuhanku, ampunilah dosaku dan (dosa) kedua orang tuaku. Sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil". []

Bogor, 31 Desember 2024

Baca juga:

Related Articles

0 Comments: