Headlines
Loading...
Oleh. Rochma Ummu Arifah 

SSCQMedia.Com-
"Ibu, dipanggil Nenek!" kata Rania saat aku masih menyelesaikan pekerjaanku di lantai atas rumahku. 

"Iya, bilang Mbah, Ibu segera ke sana!" aku pun segera turun dan berlari menuju kamar orang tuaku. 

"Ada apa, Bu?" tanyaku pada wanita tua yang sedang duduk di tepi ranjang itu.

"Napasku sulit sekali. Perutku juga sakit. aahhhh!" keluh wanita itu yang tak lain adalah ibuku.

"Ayo, kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang!"

Tanpa menunggu persetujuannya, aku pun membopong tubuh ringkih itu dan membawanya ke dalam mobil. Lantas, segera aku lajukan mobil itu menuju rumah sakit terdekat dari rumah kami.

**

Ibu didiagnosa dengan penyakit jantung. Dokter menyarankanku untuk menjaga beliau dari adanya konflik yang akan memperburuk penyakitnya. Ibu dirawat di rumah sakit selama hampir sepekan sampai kondisinya memungkinkan untuk dibawa pulang.

Sejak saat itu, tak kuperbolehkan melakukan pekerjaan berat. Juga kusarankan pada beliau untuk tak memikirkan banyak hal. Biarlah semuanya terjadi, tak perlu banyak mengurusi hal-hal lain yang justru hanya akan memperburuk kondisinya.

Tentu saja hal ini tak mudah terjadi. Tetap saja di setiap harinya, ada saja kesalahan di matanya. Pekerjaan rumah tangga yang belum tuntas kulakukan. Tingkah pola anak-anak yang tak ada benarnya di mata beliau. Suamiku yang dirasa masih belum cukup sukses dan membanggakan layaknya harapannya untuk memiliki menantu yang kaya dan terpandang dengan memiliki pekerjaan yang mentereng.

"Itu loh anak-anakmu itu lari-larian dalam rumah sambil teriak-teriak. Anak kok begitu!" keluhnya suatu hari.

"Kamu itu, rumah kok dibiarkan kotor terus. Sapu rumah itu setiap hari! Jangan biarkan rumah berantakan kayak tak ada orang saja di dalamnya. Andai Ibu ini masih kuat, Ibu pasti akan membuat rumah ini rapi, tak seperti saat ini!" komentar pedasnya saat melihat anak-anak selesai bermain dan membuat rumah berantakan.

"Suami Lina itu sudah diangkat jadi PNS. Gajinya tentu sudah tinggi. Dia juga sudah punya rumah yang bagus dan besar. Mobil keluaran terbaru pun sudah bisa dia beli!" sindirnya lagi di lain waktu.

Kadang semua komentar dan keluhannya itu jelas-jelas membuat hatiku capek. Capek untuk membantah bahwa semua itu tidak benar. Pekerjaan rumahku memang belum tuntas karena aku pun juga seorang ibu pekerja yang tentunya saja energiku harus terbagi. Anak-anak juga masihlah anak-anak dengan tingkah pola mereka yang terkadang memang masih kurang tepat. Suamiku juga tentunya masih terus berusaha untuk selalu menjadi suami dan bapak terbaik bagi anak-anakku, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup kami.

Rasa capek ini kadang sudah tak terbendung. Ingin rasanya aku membalas semua ocehan ketus Ibu. Ingin rasanya aku berteriak bahwa yang beliau sampaikan itu tidak selamanya benar. Ingin rasanya aku sejenak menghilang dan menjauh dari keberadaannya serta menenangkan diri dari segala keruwetan yang Ibu timbulkan.

Alhamdulillah, ada suami terbaik yang kumiliki. Beliau selalu menasihatiku untuk ikhlas menerima semua keluhan beliau. Ikhlas mendengarkan tanpa ada keinginan untuk menjawab atau membantah beliau. Mengingatkan bahwa ini adalah waktu yang tepat bagi diri ini untuk berbakti kepada beliau di usia rentanya beliau. 

"Yang sabar ya, Dik. Ini waktunya Adik untuk berbakti pada beliau. Kalau mungkin dirasa berat dan sulit, selalu minta pada Allah untuk dimudahkan menghadapi ini. Anggaplah ini adalah pintu untuk meraih surga bagi Adik!" nasihat suami yang begitu menyejukkanku. Seakan membuat dahaga ini hilang dengan adanya air dingin yang menyejukkan yang melewati tenggorokan keringku.

Islam mengajarkan anak untuk berbakti kepada orang tuanya, terutama kepada ibu. Bahkan, Rasulullah telah menyebutkan kewajiban itu. Dari Abu Hurairah r.a., "Seseorang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi saw. menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi saw. menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi saw. menjawab, 'Kemudian ayahmu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Tak pernah lelah suamiku mengingatkan hal ini, terutama saat melihat aku sudah seakan sampai pada batas kesabaran itu. Semoga saja kesabaran ini tetap ada. Semoga Allah memudahkan langkah ini untuk berbakti pada beliau. Semoga Allah juga memudahkan aku untuk memanfaatkan kesempatan dalam berbakti pada wanita yang telah melahirkanku ini.

"Tuhanku, ampunilah dosa-dosaku dan kedua orang tuaku, serta kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu kecil." Doa inilah yang tak pernah putus untuk kulantunkan dan kulangitkan. Semoga Allah memberikan ampun untuk dosa-dosaku dan dosa orang tuaku, terutama ibuku saat ini. Semoga kami bisa saling menyayangi dan mencintai. Walau ada beberapa perbedaan di antara kami, tetapi semoga itu tak pernah membuat jurang yang memisahkan kami. 

Memang, jalan surga itu melalui banyak pintu. Saat ini yang ada di hadapanku adalah surga lewat jalan berbakti kepada ibuku. Tentu jalan meraih surga bukan jalan yang mudah karena surga adalah hadiah tertinggi bagi setiap muslim dan mukmin. Begitu pula bagiku, memang tak mudah. Tetapi, aku selalu yakin bahwa ada kemudahan di dalamnya. Insyaallah. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: