Headlines
Loading...
Oleh. Nina Herlina Ibrahim

SSCQMedia.Com- Meski tak mendapat ilmu parenting pada masanya tetapi ibuku adalah seorang ummun wa robbatul bait sejati dan sebaik-baik ibu menurut versi kami. 

Dari sisi apa pun kemampuan manajerial beliau sangat luar biasa, sampai aku bingung mau bercerita dari sisi yang mana dulu. 

Ketika kecil, aku merasa mamah, demikian kami memanggilnya, banyak aturan dan sangat disiplin dalam mendidik kami. 

Dari mulai makan, tidur, belajar sampai main, semua ada aturannya. Pagi hari, kami dibangunkan saat azan Subuh berkumandang. Kalau tidak sakit, sebelum salat kami diharuskan untuk mandi. Paling pantang jika setelah Subuh kami “leyeh-leyeh”, apalagi tidur lagi, waduh ... pasti akan langsung dibangunkan.

Tugas pagi hari semua sudah dibagi,  kakakku mendapat tugas menyapu di halaman rumah, aku mendapat tugas cuci piring pagi setelah sarapan, dan adikku merapikan meja makan. Urusan kamar, dan buku pelajaran otomatis menjadi tanggungan masing-masing. Jika tugas pagi belum selesai, kami tidak diizinkan untuk pergi sekolah. 

Suatu hari aku kesiangan bangun, sehingga tidak sempat merapikan kamar. Cepat-cepat aku mencuci piring sampai bajuku basah, tapi itu tidak menjadi pengecualian, ketika aku mau salim, pamit pergi ke sekolah, mamah pun sadar bahwa aku belum merapikan kamar. 

"Mau pergi ke sekolah, memang kamar sudah dirapikan?" tanya ibuku. 

"Emm ..., nanti aja ya, Mah. Pulang sekolah, soalnya tadi kesiangan jadi belum sempat merapikan kamar," jawabku. 

"Kali ini Mamah maklumi, tapi tidak untuk diulang. Bajunya diganti dulu, itu basah, nanti masuk angin," timpal ibuku lagi.

"Iya, Mah. Makasih, nanti siang insya Allah aku rapikan. Terima kasih, Mah,” sahutku sambil bergegas mengenakan sepatu dan pergi ke sekolah. 

Begitulah ibuku mengajarkan kedisiplinan pada kami. 

Sebelum berangkat sekolah, biasanya ibu yang menyiapkan sarapan, sedangkan bapak membuatkan segelas susu dan menyiapkan uang saku untuk di sekolah. 

Uang saku yang diberikan pada kami sangat terbatas, untuk membeli satu porsi bakso dan segelas es, kami harus menabung atau tidak jajan selama tiga hari. 

Ibu dan bapak memang tidak membiasakan anak-anaknya untuk jajan. Makanan empat sehat lima sempurna dan camilan sehat sudah disediakan di rumah. 

Ibu sangat marah jika pulang sekolah kami membawa plastik berisi bungkusan bakso. 

"Kalau mau jajan, makan dulu. Mamah udah  capek-capek masak. Kalau kamu beli bakso lagi ketika pulang sekolah, besok-besok Mamah gak akan masak untuk kalian." Kalimat itu yang selalu ibuku katakan jika kami jajan sebelum makan. 

Pulang sekolah, kami diharuskan untuk langsung pulang, tidak boleh main atau mampir ke rumah teman jika tidak ada kepentingan atau info sebelumnya. 

Sampai rumah, ganti baju, cuci tangan dan makan siang yang sudah disiapkan mamah, setelah makan siang istirahat dan tidur siang sebentar. Setelah itu kami dibangunkan dan siap-siap untuk mengaji dan les di sore hari. 

Begitu masuk SMP, teman-teman banyak yang pindah jam ngaji di waktu malam hari, bakda Maghrib sampai Isya. Karena aktivitas sekolah dan suasana ngaji di sore hari pun banyaknya diisi oleh anak-anak sekolah dasar. Tapi kami tidak diizinkan untuk pindah waktu ngaji, dengan alasan anak-anak tidak boleh ada aktivitas di malam hari. 

Sunatullahnya, pasti ada rasa kesal dengan ketatnya aturan yang diterapkan di rumah, terutama ketika mulai remaja.

Aku mulai membandingkan dan iri dengan teman-teman yang sangat longgar bahkan tidak ada aturan di rumahnya. Orangtuanya sangat membebaskan, boleh setiap hari main ke rumah teman sepulang sekolah, boleh ngaji malam hari, tidak ada pekerjaan rumah yang dibebankan, uang jajan pun dibebaskan. 

"Hmmm... gini amat ya nasibku,” celotehku dalam hati, ketika teman-teman mengajak main dan setengah mengejekku. 

Tapi jika aku melanggar tentu ada “punishment” yang diberlakukan pada kami.

Dan aturan ini pun berlaku sampai kami kuliah dan kerja. Izin itu harus di depan, kalau tidak kami tetap kena nasihat alias omelan, meski sudah besar. 

Ketika aku sudah menikah dan punya anak, baru terasa ternyata semua aturan disiplin yang orangtua kami terapkan itu semua berdampak positif pada kami. Semua adalah manifestasi sayang mereka kepada kami, anak-anaknya. 

Ketika hamil anak kedua, di bulan kedelapan aku dilarikan ke rumah sakit, karena tiba-tiba pendarahan sehingga aku harus di rawat inap. Dan begitu kagetnya dokter yang merawatku karena ini adalah kali pertamaku rawat inap.

Setengah tidak percaya, tapi akhirnya dokter tersebut sambil merawatku juga mewawancaraiku dan ingin tahu, bagaimana ibuku merawatku? 

Setelah aku ceritakan bagaimana cara ibu merawat kami, sambil berkaca-kaca, dokter pun mengatakan, "Ibu kalian orang hebat, saya iri dan ingin sekali mempunyai ibu yang sangat perhatian dan merawat anaknya dengan baik. Sementara ibu kami hanya merawat dan memantau kami lewat asisten dan telepon. Beliau sibuk bekerja."

Melihat reaksi dokter seperti itu, aku pun ikut berkaca-kaca dan “flash back” tentang semua yang mamah sudah lakukan untuk kami. 

Ingin sekali bertemu mamah, memeluk dan bilang terima kasih untuk semua yang telah mamah berikan pada kami. Terima kasih atas semua pendidikan, kedisiplinan, dan perawatan yang sudah mamah lakukan kepada kami. Semua itu menjadi ilmu bagi kami dalam mendidik anak-anak kami kelak. “We love you forever, Mom.” Doakan kami bisa menjadi orang tua hebat seperti mamah. []

Baca juga:

0 Comments: