Kisah Inspiratif
Menerima Qada Allah atas Ibuku
Oleh. Maya Rohmah
SSCQMedia.Com- Kutatap gundukan pakai kotor di hadapanku. Pakaian ayah, ibu, kakak, adik, dan pakaianku sendiri campur aduk di sana. Merah, biru, hitam, cokelat, putih, putih yang sudah tidak putih lagi, dan warna lainnya. Aku pun meraih sabun cuci colek di dekatku. Setelah satu pakaian kubasahi, kuoleskan sabun colek di sana-sini. Kugilas pakaian itu di atas sebuah lempengan batu besar yang rata.
Satu, dua, tiga pakaian kucuci. Entah pada pakaian keberapa, isak tangis tak bisa kubendung. Gerakanku mencuci jadi tak beraturan. Terakhir, kulempar sikat kuat-kuat ke celana panjang ayah yang sedang kucuci. Kutinggalkan cucian yang masih jauh dari kata selesai.
Aku yang baru berusia kelas 5 SD saat itu, kesal, mengapa pakaian kotor begitu banyak.
Aku kesal entah pada siapa.
Kelak kemudian aku paham, saat itu aku kesal karena sedang capek saja. Berhubung ibuku tak bisa menjalankan perannya karena sakit, maka sebagian pekerjaan rumah tangga aku yang pegang. Porsi terbesar tugas rumah tangga tentu diambil alih ayah, setelah itu aku, kakak laki-laki, baru kedua adik kecilku.
Pertanyaan-Pertanyaan
"Ibumu mana? Kok, tidak pernah kelihatan." Tak hanya sekali, berkali-kali teman sepermainan bertanya tentang ibuku. Biasanya yang bertanya seperti ini memang bertanya apa adanya karena tidak tahu.
"Ibumu mana? Kata ibuku, ibumu gila, ya?" celoteh temanku yang lain.
Ah, ternyata ada jenis manusia yang bertanya untuk menyakiti.
Dia .., tidak, tepatnya mereka, karena bukan satu dua orang. Mereka sering menyoraki aku jika terlihat di sekitar tempat tinggalku. Ini yang membuatku dulu tidak berani keluar rumah.
"Ibunya gila, ibunya gila!" seru mereka sambil bertepuk tangan.
Di usiaku yang baru berumur kelas 3 SD, aku hanya bisa menangis.
Tapi kelas 6 SD, aku sudah tidak menangis lagi, aku sudah kebal dengan celaan mereka terhadap ibuku. Aku memasang wajah apatis, dan sibuk mencari ke berbagai tempat di manapun ibu bisa ditemukan. Agar aku bisa menuntunnya pulang.
Memaknai Ulang Peristiwa
Segala puji bagi Allah, kupanjatkan syukur tak terhingga. Hanya karena kasih sayang-Nya, aku bisa menemukan kajian Islam kafah saat menjadi mahasiswa IPB. Di awal-awal mengkaji Islam, guru (musyrifah) memahamkan kepadaku tentang jalan menuju iman. Musyrifahku juga membahas tentang takdir, qadha, dan qadar.
Musyrifahku berkata pada suatu kesempatan, "Perbuatan manusia itu ada dalam dua wilayah. Wilayah yang dikuasai manusia dan wilayah yang menguasai manusia. Ada yang wilayah kita tuh bisa memilih mana perbuatan atau kejadian yang mau kita pilih, dan ada wilayah yang tidak ada campur tangan dari kita sedikitpun," sambungnya.
Berbagai peristiwa di masa kecilku hingga sebelum aku mengenal Islam kafah, bermunculan kembali dalam ingatanku. Bagaikan alur film yang diputar ulang. Kini, aku bisa memaknai semua peristiwa dengan lebih baik setelah mendapatkan pemahaman Islam.
Aku adalah anak perempuan pertama di keluarga. Abang hanya terpaut satu tahun denganku. Maka, sejak kecil aku telah mendapatkan tugas rumah tangga dan kepercayaan lebih banyak daripada abangku. Di kemudian hari, ternyata hal itu sangat berguna ketika aku dihadapkan pada berbagai keputusan yang sulit, atau ketika menjadi seorang pemimpin di tempatku bekerja, hingga ketika menjadi seorang ibu rumah tangga.
Sakit tak biasa yang menimpa ibuku sejak aku kelas 3 SD, pasti ada hikmahnya. Aku tidak bisa memilih dari ibu yang seperti apa aku dilahirkan. Sosok orang tua memang tidak selalu sesuai dengan harapan. Aku pun tak bisa mengharapkan sosok ayah dan ibu ideal seperti yang diteladankan oleh Rasulullah saw. dan ummul mukminin Khadijah ra.
Aku diperintahkan oleh agamaku untuk mencari kelebihan-kelebihan kedua orang tua untuk kusyukuri. Sedangkan kekurangan yang ada pada orang tua, aku diperintahkan untuk berada di shaf terdepan untuk membantunya agar selamat dari kehinaan karena kekurangan-kekurangan itu.
Bagaimanapun keadaan orang tua kita, darah dagingnya melekat pada diri kita. Jika mereka belum saleh salihah, kita yang harus memohon pada Allah agar orang tua kita mendapatkan hidayah. Jika mereka tak sempurna, pahami saja bahwa itu manusiawi sekali. Tidak ada manusia yang sempurna. Apalagi jika mereka sakit, tentu lebih besar lagi ruang di jiwa kita untuk menerima hal itu sebagai suatu ketetapan dari-Nya.
Menerima Qadha Allah atas Ibuku
Ibuku meninggal pada saat aku kelas 2 SMA.
Ayah, satu tahun setelahnya. Saat itu aku baru masuk ke perguruan tinggi, yaitu IPB. Nilai-nilai akademikku di perkuliahan tidak secemerlang nilaiku di sekolah. Bahkan, aku sempat tidak memiliki semangat hidup.
Syukurlah, teman-teman kajian tidak membiarkanku larut dalam kesedihan. Pemikiran Islam mampu membuatku seolah punya dada yang lapang untuk menampung semua permasalahan diri, dan juga permasalahan umat. Ya, aku dibiasakan oleh musyrifah untuk peduli dan memikirkan urusan umat.
Segala kejadian yang terjadi pada wilayah yang menguasai aku sebagai manusia, aku takkan dihisab atau dimintai pertanggungjawaban atas. Inilah yang dinamakan qadha (keputusan Allah). Aku hanya wajib untuk menerima qadha Allah Swt. tersebut.
Sebagaimana dalam Al Qur'an surah Al-Baqarah ayat 210, Allah berfirman:
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلَائِكَةُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ ۚ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ
Artinya: Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu kecuali datangnya (azab) Allah bersama malaikat dalam naungan awan, sedangkan perkara (mereka) telah diputuskan. Dan kepada Allah-lah segala perkara dikembalikan.
Tetap Berbakti kepada Ibu
Bagaimanapun kondisi orang tua, anak tetaplah wajib berbakti kepadanya. Selama orang tua tidak memerintahkan kepada kemaksiatan, kita tidak boleh durhaka padanya.
Suatu waktu, ada salah satu teman ayah yang berkata begini,
"Sudah, berangkat saja. Biar Ndeh (nama panggilan untuk ibu) kami yang urus. Sudah waktunya dipasung, biar nggak kabur-kaburan. Mau gimana lagi, coba?"
Ya Allah, mendengar kalimat itu aku langsung tergugu. Ibuku hendak mereka pasung? Agar anak-anaknya tidak repot, dia bilang?
Aku tak sanggup untuk memasung sosok yang telah bertaruh nyawa untuk melahirkanku ke dunia. Sosok yang setia menuntunku saat aku belajar berjalan. Manalah bisa kini aku tak membalas untuk menuntunnya kembali pulang dari tempat ibu terdampar akibat isi dari halusinasinya?
Begitulah di sistem kapitalisme. Saat sang ibu dirasakan menyusahkan anak dan tidak bermanfaat, solusi keliru pun diambil.
Padahal, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menangani orang seperti ibuku. Pada masa Khilafah, penanganan orang sakit jiwa dilakukan dengan berbagai membangun rumah sakit jiwa (RSJ); mengembangkan metode pengobatan, seperti psikoterapi, musik terapi, dan terapi konseling; memberikan motivasi kepada pasien, hingga
menciptakan produk hukum untuk mencegah kejahatan.
Wallahualam bissawab. []
Masya Allah Tabarakallah Teteh...Tetap semangat..Teteh luar biasa sekali 👍🏻👍🏻🥰🥰
BalasHapusAl-Fatihah teruntuk Ibu tercinta 🤲 dan juga Ayah'