Oleh. Anik Purwaningsih
SSCQMedia.Com-Akhir-akhir ini masih ramai isu tentang kenaikan pajak PPN menjadi 12% naik 1% dari tahun sebelumnya. Sebagaimana diberitakan Tempo 11 desember 2024 bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa sejumlah barang dan jasa akan di bebaskan dari PPN, meliputi kebutuhan pangan, pendidikan dan kesehatan. Namun selain itu barang dan jasa kena pajak lainya akan tetap naik sesuai dengan prinsip keadilan.
Selain PPN, seperti yang dilansir dari CNN Indonesia kamis, 12 Desember 2024 pajak kendaraan bermotor juga akan naik sebesar 66% berlaku mulai 5 Januari 2025. Meliputi dua opsi yaitu PKB dan bea balik nama kendaraan bermotor (CNN.com, 12-12-2024)
Selain kedua jenis pajak di atas, masih banyak lagi jenis pajak yang dipungut dari rakyat. Sudah jelas sekali bahwa APBN Indonesia sebagian besar pendapatan bertumpu pada pajak yang dibebankan kepada rakyat. Sudah dipastikan jika rakyat akan sangat menderita dengan berbagai pajak tersebut.
Sistem pajak ini memaksa rakyat untuk membayar pajak kepada pemerintah dengan alasan untuk pemulihan ekonomi pascapandemi. Adapun alasan lain adalah untuk mengurangi ketergantungan hutang luar negeri sehingga keputusan pemerintah adalah menaikan pajak. Ironisnya, di satu sisi pemerintah memaksa rakyat untuk membayar pajak, di sisi lain pemerintah mengundang para investor untuk berinvestasi di Indonesia dengan iming-iming pembebasan pajak dan cukai. Dari sini sudah terlihat jelas bahwa pemerintah tidak berpihak kepada rakyat.
Bagaimana rakyat bisa sejahtera jika berbagai pungutan pajak senantiasa mencekik lehernya? Sedangkan pemerintah tidak lagi peduli dengan kesulitan rakyatnya. Sangatlah wajar jika rakyat menginginkan negeri tanpa pajak. Namun, adakah negeri itu? Tentu saja ada, yaitu negara yang dibangun dengan asas akidah Islamiah, yang telah terbukti 14 tahun dalam sejarah menerapkan Islam membuat rakyatnya sejahtera tanpa pajak.
Allah Swt. menurunkan Islam kepada manusia untuk memberikan petunjuk kepada manusia agar manusia dapat hidup dengan bahagia di dunia dan di akhirat, dengan cara manusia harus menerapkan syariat Allah di seluruh aspek kehidupannya.
Agar dapat meraih tujuan tersebut, hukum syarak harus dilaksanakan oleh sebuah negara yang Islami, yaitu negara yang menggunakan aqidah dan syariat Islam sebagai landasan bernegara. Oleh karena itu, undang-undang dasar dan perundang-undangan lainnya harus bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Agar mewujudkan kesejahteraan umat, Allah Swt. telah mengatur bahwa sumber pemasukan negara yang tetap terbagi menjadi tiga pos pemasukan utama, di antaranya :
(1) pos kepemilikan umum ( sarana umum/fasilitas umum, benda yang dari hakikat keadaan asalnya diperuntukkan untuk umum, barang tambang yang tidak terbatas.
(2) pos kepemilikan negara (ghanimah, khumus, fai, jizyah, kharaj, tanah dan bangunan yang dimiliki negara), harta haram (ghulul), 'usyur (bea cukai), serta denda, barang tambang/khumuz rikaz, harta yang tidak memiliki ahli warisnya, pajak (dharibah) dan harta orang murtad.
(3) Pos zakat (zakat buah-buahan dan tanaman [gandum, kurma, kismis, jewawut], zakat hewan [sapi, unta dan kambing], zakat nuqud [emas, perak, uang], dan zakat perdagangan.
Dari hal-hal tersebut Allah memberikan hak bagi negara untuk menghasilkan harta yang bertujuan untuk menutupi berbagai macam kebutuhan tersebut dari kaum muslimin dengan menarik pajak yang sesuai dengan ketentuan Islam, akan tetapi hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan berikut :
Pertama, untuk membiayai jihad serta segala hal yang harus dipenuhi berkaitan dengan jihad, contohnya pembentukan pasukan yang kuat, pelatihan militer dengan skala besar, pengadaan kebutuhan alat militer yang canggih yang mampu menakut-nakuti dan memukul mundur musuh.
Kedua, Pembiayaan bagi industri senjata dikarenakan dalam jihad pasti membutuhkan pasukan serta senjata untuk berperang.
Ketiga, pembiayaan bagi kaum miskin serta Ibnu sabil. Pembiayaan bagi mereka harus tetap dilaksanakan, baik apakah di baitulmal terdapat uang ataukah tidak.
Keempat, pembiayaan bagi gaji pasukan atau tentara, para hakim, para pegawai, para guru dan yang lainnya yang melaksanakan pekerjaan atau melaksanakan pelayanan masyarakat bagi kemaslahatan kaum muslimin. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan upah dari baitul mal atas pekerjaan tersebut. Alhasil, membayar gaji mereka merupakan kewajiban baitulmal yang bersifat tetap, ada uang maupun tidak.
Kelima, pembiayaan bagi kemaslahatan umat dan kepentingan umum seperti jalan umum, rumah sakit, sekolah, masjid, pengadaan sumber air minum bersih yang layak, dan yang lain sebagainya. Apabila sarana-sarana ini tidak di penuhi akan menimbulkan bahaya bagi umat.
Keenam, pembiayaan untuk bencana alam atau pembiayaan untuk mengusir musuh, negara diperbolehkan untuk mewajibkan pajak bagi pembiayaan hal-hal tersebut apabila negara sudah tidak memiliki harta di dalam baitulmal atau harta di dalam baitulmal tidak mencukupi.
Selain itu juga pajak diambil dari kaum muslim yang memiliki harta yang lebih, dan bagi non muslim negara tidak memungut pajak dari mereka. Karena, pajak dipungut untuk membiayai kewajiban kaum muslim yang bukan menjadi kewajiban bagi non muslim. Pemungutan pajak tidak diperbolehkan melebihi kesanggupan atau melebihi kadar harta bagi yang wajib membayar pajak.
Bila negara tetap memberlakukan pajak, maka negara telah zalim terhadap umat bahkan masuk dalam tindakan memungut bea cukai sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir. Bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai.”
Demikianlah pengaturan Islam terkait pungutan pajak. Allah Swt. berfirman, “Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS Al-Ahzab: 36). Wallahu’alam bishawab. []
0 Comments: