Oleh. Umi Hafizha
SSCQMedia.com - Tahun baru harga baru. Itulah yang terjadi saat ini. Berbagai harga kebutuhan hidup mengalami kenaikan, termasuk harga minyak goreng. Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menyatakan bahwa kenaikan harga Minyakita di pasaran hingga menyentuh level Rp19.000 per liter, meski seharusnya harga eceran (HET) komoditas tersebut dipatok Rp15.700 per liter.
Budi menyampaikan, kenaikan tersebut disebabkan adanya keterlambatan distribusi pasokan akibat libur Natal dan Tahun Baru 2024-2025. Ia juga mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan produsen untuk memastikan stok terbaru. (cnnindonesia.com, 4/01/2024).
Menteri Budi Santoso juga menyatakan, belum akan merevisi regulasi soal domestic market obligation (DMO) minyak goreng rakyat, meskipun harga Minyakita melampaui harga eceran tertinggi atau HET. Berdasarkan Permendag Nomor 18 Tahun 2024 HET Minyakita ditetapkan menjadi Rp15.700 per liter. Namun, berdasarkan laman Badan Pangan Nasional (BPN) harga eceran minyak goreng curah mencapai Rp17.260 setiap liter per Jum'at, 3 Januari 2025. (tempo.co, 3/01/2024).
Negara Abai Terhadap Rakyat
Kenaikan harga Minyakita yang banyak dikonsumsi masyarakat, menunjukkan gagalnya negara menjaga kestabilan harga pangan. Negara yang menetapkan HET harga Minyakita yang tertuang dalam Undang-undang, namun negara juga yang telah melanggar peraturan tersebut.
Negara membiarkan harga Minyakita melampaui harga HET dengan alasan macetnya rantai distribusi. Sudah sangat dipahami oleh masyarakat, bahwa kondisi tahun baru atau libur hari raya besar cukup mengubah pola konsumsi masyarakat. Sudah seharusnya, negara membuat strategi khusus pendistribusian bahan pangan pada waktu-waktu tersebut. Sehingga, tidak terjadi kelangkaan di pasaran yang menyebabkan kenaikan harga.
Nyatanya, pemerintah selalu mencari alasan untuk tidak disalahkan atas mahalnya harga pangan yang semakin membebani masyarakat. Rakyat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, tentu akan mengeluhkan keadaan ini. Meskipun sudah terbiasa, perekonomian mereka akan terganggu.
Minyak adalah kebutuhan sehari-hari masyarakat negeri ini. Sebagian masyarakat memiliki UMKM yang bergantung pada minyak. Jika harganya naik, meski sepekan atau dua pekan, biaya produksi yang dikeluarkan semakin besar. Dampaknya, keuntungan usaha mereka berkurang dan pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidup berkurang. Dampak lebih jauh, yaitu menurunnya daya beli masyarakat.
Inilah watak pemimpin yang lahir dari sistem sekuler-kapitalis. Negara begitu abai pada rakyatnya dan tak pernah menunjukkan kasih sayangnya. Buktinya, negara tega melihat rakyatnya menderita dan meminta pemakluman.
Penguasa dalam sistem kapitalisme, abai terhadap pengurusan rakyatnya. Hal ini adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin diubah dalam sistem kapitalisme. Di mana negara, hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Negara melegalkan para kapital menguasai rantai produksi pangan termasuk minyak dari hulu hingga hilir. Regulasi ini, bahkan membuka peluang bagi korporasi untuk melakukan spekulasi, kartel, hingga penimbunan bahan pangan untuk mendapat keuntungan besar. Bahkan, sangat mungkin alasan tahun baru dimanfaatkan oleh korporasi untuk menaikkan harga pangan di pasar.
Inilah dampak yang ditimbulkan, jika negara tidak hadir di tengah masyarakat sebagai raa'in (pengurus). Sebaliknya, negara hadir untuk menjamin bisnis yang kondusif bagi para kapitalis. Bukannya mencari penyebab sesungguhnya, negara justru mengeluarkan statemen yang seolah melindungi korporasi. Padahal, harga Minyakita di pasaran sangat mungkin disebabkan adanya praktik curang atau yang melanggar di lapangan.
Islam Menjamin Kestabilan Harga Pangan
Sungguh, kestabilan harga minyak goreng dengan harga terjangkau oleh masyarakat luas, tidak akan terwujud dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Berbeda dalam negara yang diatur oleh sistem Islam. Prinsip kepemilikan dalam Islam adalah pengaturan hajat hidup rakyat berada di bawah kendali pemerintah. Sebab pemimpin adalah raa'in yang mengatur urusan rakyat dan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang diurus. Sementara, paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan bukan bisnis atau keuntungan.
Islam, memandang pemenuhan kebutuhan pokok menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme sesuai syariat. Oleh karena itu, minyak goreng sebagai kebutuhan pangan rakyat akan dipenuhi negara secara tidak langsung. Jaminan negara dalam pemenuhan pangan setiap individu rakyat diberikan melalui jaminan pekerjaan bagi para pencari nafkah dengan gaji yang layak.
Di samping itu, negara tidak boleh menyerahkan pengurusan pemenuhan kebutuhan pangan, termasuk minyak goreng kepada swasta. Berikut hal-hal yang dilakukan negara Islam dalam menjamin penyediaan minyak goreng hingga pendistribusian ke masyarakat tanpa dibebani dengan harga yang mahal:
Pertama, negara akan menjaga pasokan produksi dalam negeri dengan memberi support para petani sawit dalam mengelola lahan. Dengan prinsip pemilikan lahan dalam Islam, negara akan memberikan kemudahan petani sawit mendapatkan lahan. Selain itu, negara akan memberikan tunjangan sarana dan infrastruktur pertanian hingga memberikan modal petani.
Kedua, negara akan menciptakan pasar yang sehat sehingga terwujud kestabilan harga. Negara akan mengawasi rantai distribusi dan menghilangkan segala penyebab distorsi pasar. Penimbunan minyak goreng yang dilakukan oleh perusahaan maupun pedagang akan mendapat sanksi tegas dari negara.
Ketiga, negara tidak menetapkan HET untuk produk pangan apapun. Tetapi negara akan menyerahkan harga pada mekanisme pasar, namun tetap dalam pengawasan negara. Negara juga membolehkan pihak swasta mendirikan perusahaan produksi minyak goreng, namun tidak menyerahkan penguasaan rantai produksinya kepada mereka.
Tentu saja semua mekanisme di atas hanya bisa dijalankan oleh negara yang menerapkan Islam kafah. Wallahualam bissawab. [US]
Baca juga:

0 Comments: