Headlines
Loading...
Mitigasi Bencana  Buruk, Rakyat Menjadi Korban

Mitigasi Bencana Buruk, Rakyat Menjadi Korban

Oleh. Noviya Dwi

SSCQMedia.Com-Bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini membuat rakyat  menanggung dampak musibah yang terjadi, salah satunya bencana banjir bandang yang melanda Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Curah hujan yang tinggi menjadi sebab terjadinya banjir bandang. Tak hanya di Sumatra, tetapi di sejumlah daerah lain juga terjadi bencana yang serupa, seperti tanah longsor dan angin kencang.


Akibat Upaya Antisipasi yang Buruk

Curah hujan tinggi  yang memasuki pekan kedua Januari 2025, menyebabkan berbagai bencana, seperti banjir, tanah longsor dan angin kencang. Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, yakni Abdul Muhari sebagai Kepala Pusat Data, mengatakan bahwa bencana hidrometeorologi ini terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, mulai dari Sumatra hingga Nusa Tenggara Barat (NTB).

Hujan deras yang terjadi di Sumatra, mengakibatkan banjir dan meluas ke berbagai wilayah Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan dan menjadi salah satu daerah yang terdampak cukup parah. Sebanyak 470 rumah di Kecamatan Hujan Mas terendam banjir dan di Kecamatan Benakat, sebanyak 361 rumah terdampak akibat luapan Sungai Banekat dan Sungai Lematang (CNNIndonesia.com, 11-01-2025).


Penanggulangan Bencana Yang tidak Tepat

Antisipasi dari pemerintah hanya mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan. Pemerintah juga menanggapinya dengan melakukan antisipasi membersihkan saluran dengan memeriksa kondisi daerah aliran dan  sungai menyusun rencana evakuasi mandiri. Mitigasi ala kadarnya inilah yang memperparah  bencana, khususnya banjir dan tanah longsor di negeri ini.

Ada dua penyebab utama banjir yang menjadi bencana tahunan, yakni rencana tata kelola dan pembangunan yang amburadul dan maraknya alih fungsi lahan, khususnya pegunungan yang menjadi penyangga utama hujan,  beralih fungsi menjadi tempat wisata dan sebagainya. Penyebab ini tentu sudah diketahui oleh pemerintah setempat. Namun, tidak adanya langkah mitigasi yang dilakukan untuk mengurangi penyebab utama bencana tersebut. Watak penguasa yang mengabaikan pengurusan terhadap rakyatnya, menunjukkan ketidakpedulian yang parah.

Sangat ironi, jika mengingat banjir ini tidak hanya menenggelamkan harta benda dan fasilitas umum, tetapi juga memakan korban dan ribuan nyawa rakyat melayang begitu saja, akibat dari bencana banjir dan longsor yang terjadi dibandingkan pelayanan penguasa jika berurusan dengan pajak yang mencekik rakyat, serta pungutan-pungutan yang memberatkan rakyat, justru negara bergerak begitu cepat. Inilah watak pemimpin yang lahir dari sistem sekulerisme-kapitalisme.

Pemimpinnya bercorak populis otoriter, di mana mereka seolah peduli kepada rakyatnya, padahal kebijakannya sewenang-wenang khususnya dalam persoalan banjir ini. Pemerintah seringkali hanya hadir saat banjir telah terjadi, dengan mendatangi posko-posko pengungsian dan memberikan bantuan dengan dana APBN yang tidak lain merupakan uang dari rakyat. Namun, di balik itu pemerintah justru menunjukkan sifat otoriternya, mereka dengan mudah memberikan izin kepada pihak swasta untuk membuka lahan atas nama investasi di wilayah yang seharusnya bisa mencegah banjir.

Adapun kebijakan ini mengedepankan kepentingan pemilik modal dan mengabaikan kepentingan rakyat yang tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang diterapkan. Ekonomi kapitalis memiliki prinsip liberalisasi, yakni siapa saja boleh mengelola kekayaan alam negeri ini, selama mereka memiliki modal. Negara sendiri bertindak hanya sebagai regulator yang memuluskan penguasaan kekayaan alam oleh swasta, dari sinilah muncul pembangunan yang merusak alam, seperti penggundulan hutan hingga menyebabkan banjir dan bencana lain. Oleh karena itu, rakyat tidak bisa berharap adanya mitigasi bencana banjir dan tanah longsor terbaik dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme.


Kebijakan Efesien Islam dalam Mencegah Banjir

Penanggulangan bencana khususnya banjir, akan terwujud dengan penerapan sistem Islam. Kekuasaan dalam Islam ini menjadikan syariat Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunah yang mewajibkan pemerintah sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Negara juga wajib menghindarkan rakyat dari kemudaratan, sebagaimana bencana banjir ini. Di mana bencana banjir ini terjadi di daerah tropis, maka negara dalam Islam wajib melakukan upaya mitigasi, seperti negara melakukan upaya pelestarian lingkungan.

Islam mengatur konservasi yang disebut "hima". Pada wilayah yang ditetapkan sebagai hima, ada larangan berburu bintang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem, bahkan manusia dilarang untuk memanfaatkannya selain kepentingan bersama, apalagi wilayah hima pada umumnya ada di dataran tinggi ataupun hutan yang mampu menjadi penyangga banjir. Sedangkan pegunungan dalam ekonomi Islam, termasuk harta kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu atau pihak swasta dalam mengelolanya, apa pun itu alasannya.

Khilafah akan melakukan pembangunan yang didasarkan pada kepentingan rakyat dan penjagaan ruang hidup masyarakat.
Pembangunan tidak boleh berdampak pada kerusakan lingkungan yang bisa menimbulkan bencana, karena posisi geografisnya dan melarang rakyat membangun pemukiman di sana. Negara akan membangun tata ruang berbasis mitigasi bencana. Demikianlah,  praktik mitigasi bencana terbaik yang akan terwujud dalam bingkai penerapan sistem Islam secara menyeluruh. Wallahualam bissawab. [ry].

Baca juga:

0 Comments: