Oleh. Anik Purwaningsih
SSCQMedia.Com-Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai pembangunan nasional dan menyediakan layanan publik. Namun, tidak sedikit kritik yang muncul bahwa pajak justru menyengsarakan rakyat. Beban pajak dianggap terlalu berat, pengelolaannya tidak transparan, dan manfaatnya tidak selalu dirasakan langsung oleh masyarakat.
Tingginya beban pajak bagi golongan menengah bawah seperti PPN yang dikenakan pada barang dan jasa berdampak langsung pada semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berpenghasilan rendah.
Dilansir dari CNBC Indonesia 3 Desember 2024, Pemerintah tampaknya akan terus melanjutkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada Januari 2025. Namun, akan ada beberapa kelompok yang dikecualikan, yakni masyarakat miskin. Hal ini guna menjaga daya beli masyarakat. Walaupun pemerintah mengecualikan beberapa bidang seperti kesehatan, bahan pangan dan pendidikan, Pemerintah beralasan bahwa menaikkan pajak atau menetapkan PPN sebesar 12% adalah bagian dari strategi fiskal untuk mencapai beberapa tujuan ekonomi dan kebijakan publik tertentu (CNBC.com, 3-12-2024)
Selain itu pajak penghasilan (PPh) juga dinilai memberatkan sebagian wajib pajak disektor formal maupun informal. Di tengah kondisi ekonomi nasional mengalami deflasi, semakin tingginya kebutuhan hidup masyarakat dan sulitnya mendapatkan pekerjaan layak, pekerja sektor formal sebagai wajib pajak masih harus membayar pajak penghasilan. Di sektor informal seperti UMKM yang notabene pendapatannya tidak menentu juga dikenakan pajak, karena mereka telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak walaupun keduanya telah ditetapkan ambang batas minimal penghasilan tidak kena pajaknya.
Banyaknya jenis pajak yang dipungut tidak diimbangi dengan kualitas layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur sering tidak sesuai harapan. Ketimpangan pembangunan membuat manfaat pajak lebih banyak dirasakan di wilayah perkotaan dibandingkan pedesaan. Di sisi lain, belanja pemerintah justru lebih banyak digunakan untuk belanja kurang produktif bagi peningkatan kesejahteraan publik. Sebagai contoh, pada tahun 2025, pembayaran cicilan hutang dan bunganya sebesar Rp800,33 triliun dan Rp552,8 triliun. Selain itu, proyek ambisius IKN juga telah menyedot anggaran Rp72 triliun hingga 2024. Anggaran ini akan terus membengkak karena investor swasta masih belum berminat untuk berinvestasi
Sangat ironis lagi dengan kasus korupsi dalam pengelolaan pajak. Korupsi dalam institusi perpajakan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat sering kali disalahgunakan oleh oknum tertentu. Akibatnya uang negara masuk ke kantong-kantong pribadi pejabat dan pengusaha pemegang proyek-proyek pemerintah. Sebagai contoh, pada awal Januari 2024, kepala PPATK mengungkapkan 36,67 persen dana Proyek Strategis Nasional (PSN) tidak digunakan untuk pembangun proyek tersebut, yang artinya digunakan untuk kepentingan pribadi.
Kapitalisme, Penyebab Utama
Dengan berbagai alasan, kebijakan menaikkan pajak dilakukan secara terus-menerus tanpa memperhatikan kesulitan hidup masyarakat. Kembali lagi pada sistem kapitalisme yang masih banyak diterapkan di berbagai negara, tanpa terkecuali Indonesia. Sistem ini lebih mengutamakan kepentingan korporasi dibandingkan dengan kepentingan masyarakat luas.
Dalam sistem kapitalisme, fokus pertumbuhan ekonomi berbasis keuntungan, sedangkan posisi negara bertindak sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi. Dalam upaya mendukung hal tersebut, pemerintah menggunakan pajak konsumsi seperti PPN untuk mendukung pembangunan infrastruktur, subsidi industri, serta layanan publik karena dinilai lebih mudah untuk dipungut dibandingkan dengan memungut pajak dari perusahaan besar atau dari orang kaya.
Sementara itu, sektor-sektor strategis seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur sering kali diprivatisasi. Akibatnya, pendapatan negara dari SDA menjadi berkurang. Karena SDA tidak lagi menjadi sumber utama pendapatan negara, pemerintah harus mengandalkan pajak sebagai pengganti, sering kali dengan menaikkan tarif pajak. Bahkan, pajak akan menyasar para sektor ekonomi digital.
Karena itu, selama negara masih bertumpu pada sistem kapitalisme, kesengsaraan akan terus menimpa masyarakat. Sungguh, akar permasalahan ini adalah kapitalisme dan harus diganti dengan sistem Islam yang terbukti menyejahterakan umat selama berabad-abad lamanya. Wallahua’lam. [Rn]
0 Comments: