Headlines
Loading...
Perspektif Islam dalam Mitigasi Bencana Banjir

Perspektif Islam dalam Mitigasi Bencana Banjir

Oleh. Indri Wulan Pertiwi( Aktivis Muslimah Semarang)


SSCQMedia.Com-Banjir yang terjadi setiap tahun menjadi ancaman serius bagi manusia dan lingkungan dengan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Kejadian banjir menyebabkan banyak orang kehilangan tempat tinggal dan harta benda, merusak sektor pertanian dan industri, mengganggu kesejahteraan masyarakat, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Kegagalan pemerintah dalam mencegah dan mengurangi dampak banjir menunjukkan ketidakefektifan negara dalam melindungi rakyatnya.

Hujan deras di awal tahun 2025 telah menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah Indonesia seperti Sumatera, Nusa Tenggara Barat, Riau, Pesisir Barat Lampung, dan Jawa. Daerah terdampak termasuk Kabupaten Muara Enim di Sumatera Selatan dan Kota Pekanbaru di Provinsi Riau. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terus memantau dan mengimbau agar masyarakat waspada. Di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, banjir bandang menyebabkan rumah dan jalan provinsi terendam, memaksa warga untuk mengungsi ke Masjid As Sakinah. (cnnindonesia.com/nasional, 11/1/2025).

Penyebab banjir tidak hanya berasal dari faktor alam tetapi juga dari faktor-faktor lain, seperti pembangunan yang tidak terkendali dan kurangnya mitigasi bencana dari negara. Sistem kapitalisme turut berkontribusi dalam meningkatkan risiko banjir karena orientasinya pada keuntungan dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dalam konteks bencana alam seperti banjir, pendekatan kapitalis yang terfokus pada profit sering kali mengabaikan keberlanjutan lingkungan, yang dapat memperparah risiko banjir melalui penebangan hutan masif, pembangunan di daerah rentan banjir, dan pengabaian regulasi lingkungan untuk memaksimalkan keuntungan.

Pembangunan yang mengikuti logika kapitalisme memberi keleluasaan kepada oligarki untuk mengubah lahan penyerap air menjadi lahan bisnis yang menyebabkan banjir, karena berkurangnya lahan resapan air akibat pembabatan hutan atau reklamasi pantai. Seharusnya negara memiliki peran penting dalam menyusun kebijakan dan program mitigasi bencana, termasuk dalam penanggulangan banjir. Namun, dalam sistem kapitalisme sering kali negara mengambil langkah yang tidak efektif dalam upaya mitigasi bencana, semua itu dikarenakan peran negara yang diminimalisir sebatas regulator bagi para kapital, sehingga terkesan abai terhadap keselamatan rakyatnya.


Mitigasi Banjir di Sistem Islam

Hal ini tentu berbeda dengan paradigma Islam, di mana manusia diberikan amanah oleh Allah Swt, untuk menjaga alam semesta sebagai khalifah (pengurus) sehingga terlarang melakukan tindakan yang dapat merusak alam, seperti penebangan hutan berlebihan atau pencemaran air. Hal ini jelas dikecam dalam ajaran Islam karena bertentangan dengan prinsip Islam. Sementara negara dalam Islam juga berfungsi sebagai pengawas dalam menjalankan hukum Islam secara menyeluruh dan melindungi masyarakat serta lingkungan dari bencana alam.

Dalam konteks mitigasi banjir, negara Islam akan membangun bendungan dengan berbagai tipe untuk menampung curahan air dan mencegah banjir, serta untuk keperluan irigasi. Dan mewajibkan pembukaan pemukiman baru menyertakan variabel drainase dan daerah serapan air, serta mengatur penggunaan tanah berdasarkan karakteristiknya untuk mencegah banjir.


Ketika menghadapi korban bencana alam, Khilafah akan bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga di sekitar daerah bencana dengan memberikan bantuan logistik, seperti tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan agar korban tidak menderita dan memiliki tempat tinggal yang layak.

Melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang menekankan kepatuhan terhadap syariah, seperti larangan merusak alam maupun menghindari praktik ekonomi yang merugikan lingkungan. Sehingga Islam menekankan pentingnya ketaatan aktivis ekonomi dengan mengutamakan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah merupakan bagian integral dari ekonomi Islam. Dengan demikian, praktik-praktik ekonomi yang merugikan sangat dilarang.

Larangan juga ditetapkan kepada penguasaan atas kepemilikan umum, seperti sumber daya alam yang dikelola secara bebas oleh pihak swasta atau individu. Hal tersebut bersandar pada hadis yang menyatakan bahwa kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api yang artinya tidak boleh diprivatisasi. Hal ini adalah salah satu cara terbaik dalam menghindari eksploitasi alam secara berlebihan.

Ketika alam seperti hutan, sungai telah terlanjur rusak, negara dalam Islam akan mengembalikan fungsi ekologis dan hidrologis hutan, sungai, dan danau serta melakukan rehabilitasi dan pemeliharaan konversi lahan hutan. Selain itu, akan dibuat rancangan tata ruang wilayah (RTRW) yang memperhatikan kelestarian lingkungan. Negara juga akan mengedukasi masyarakat agar menjaga lingkungan dengan membangun taman kota guna penyediaan oksigen serta mendorong penelitian dan teknologi ramah lingkungan.

Negara dalam Islam juga akan memberikan sanksi bagi pelaku perusakan lingkungan, ditegaskan dalam konteks Khilafah, di mana perusakan lingkungan termasuk dalam kategori tindak kejahatan yang dapat dikenakan hukuman seperti jilid (dera), penjara, pengasingan, denda, atau penyitaan harta sesuai dengan tingkat dampak kerusakan yang dilakukan.

Dengan demikian, sinergi antara sistem Islam, negara, dan partisipasi masyarakat menjadi kunci dalam menjaga bumi sebagai amanah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Penerapan Islam secara kafah dalam institusi Khilafah dapat mencegah dampak buruk dari banjir dan bencana alam lainnya, serta menjamin keberlangsungan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Wallahualam. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: