Oleh. Afiyah Rasyad
SSCQMedia.com - Dendang kasih sayang menari riang
Setiap helai waktu tak ada yang terbuang
Mendermakan diri untuk anak semata wayang
Hingga hadir enam cucu yang kian membuat bahagia bukan alang kepalang.
Wahai, Ratu di rumah kami!
Lafaz doamu melangit meski tinggal di bumi
Terukir senyum yang selalu berseri
Walau anak cucumu ini terus saja merecoki.
Duhai, Ratu tanpa mahkota
Di kakimu ada surga
Senyummu bagai candu tiada obatnya
Ridamu adalah rida Rabb Pencipta jagad raya.
"Sakit hati Emak ini kalau dengar kamu dirasani. Punya anak enam dikasih makan sendiri, gak minta ke mereka, kok masih saja memble."
Sederet kata tanpa jeda tertuang begitu saja di kala senja. Kamis sore itu, aku ada jadwal kajian rutin. Kelima anakku ditinggal di rumah, Nyai (emakku), yang selalu siap sedia membantu tanpa kuminta untuk menjaga mereka.
Saat si sulung dan kedua adiknya ke masjid untuk mengaji, tinggallah si eneng dan adiknya. Mereka berdua bersama Emak. Ikut ziarah rutin ke makam uyut.
Qadarullah ada Pakde (kakaknya emak) juga ziarah. Entah bagaimana mula percakapan Emak dan Pakde, sampailah pada komentar Pakde tentang Mas Yunus yang bajunya kebesaran. "Bagaimana itu baju kebesaran. Ndak heran, sudah punya adek lagi. Kok kuat nyusui." Itu sepenggal kata yang membuat Emak sakit hati. Ah, Emak. I love u pokoknya. Aku cuma bisa menenangkan Emak dengan meminta untuk bersabar. Aku pun tak lupa mengingatkan Emak agar istighfar dan mengingat bahwa Pakde adalah saudara Emak satu-satunya yang masih hidup.
Emak, banyak sekali pernak-pernik kehidupan bersamamu selama 38 tahun ini. Betapa banyak alpa dan salahku terhadap Emak, betapa sering aku membuat jengkel Emak, tetapi alpa dan kesalahan itu seakan tak tampak di mata Emak. Ah, betapa luas hati Emak terus memberiku maaf tanpa kuminta. Bahkan baluran doa-doa senantiasa terlafaz untukku, suami, dan keenam anakku.
Alhamdulillah, Emak adalah orang nomor satu yang memberikan sokongan dalam setiap urusanku. Kebaikan dan sokongan Emak tak ada beda meski usia dan anakku bertambah. Urusan mengasuh dan membelanjai anak-anak, emak selalu membantu.
Meski aku bangun lebih awal dari Emak, setiap hari Emak selalu memasak untukku dan anak-anak. Hanya lauk saja yang kusiapkan sendiri sesuai selera mereka. Betapa malu aku, Mak.
Aku pernah menuruti nasihat suami untuk mengambil alih tugas memasak. Apa yang kudengar, "Kenapa kamu masak, apa masakanku sudah tidak cocok?" Sungguh, aku gugup. Dengan hati-hati kujelaskan bahwa aku hanya ingin membantu emak agar lebih ringan. "Justru aku senang, Nak, bisa masak buat kalian. Aku senang saat kalian makan dengan lahap. Tenang, setiap mau cuci beras dan memasak yang lainnya aku baca Basmalah dan berdoa. Kebahagiaanku jika bisa membahagiakan kalian. Kalau kau masak, maka satu sumber kebahagiaanku hilang."
Sejak mendengar jawaban Emak, aku pun tak berusaha ke dapur sampai Emak sudah tunai atau Emak memanggilku. Emak juga bilang agar aku lebih fokus pada anak-anak, apalagi masih ada bayi yang harus diperhatikan. Urusan dakwah pun Emak selalu membantu dengan segala risiko yang akan dihadapi. Sejak awal hijrah, Emak jadi tameng fitnah dan tuduhan keji. Emak dan Bapak selalu mengizinkan aku mengkaji Islam dan bahkan mengundang tetangga untuk kajian di rumah kecil kami pada saat aku pulang kampung, tahun 2012 silam. Alhamdulillah majelis taklim itu masih berjalan hingga sekarang.
Tudingan miring, fitnah, dan kabar burung yang terus bergulir dihalau dengan bijak oleh Emak. Tegas dan lugas petuah Emak pada orang-orang jahil, "Datang kajiannya, baru menilai." Dukungan Emak terhadap dakwah tak pernah karam meski uban memenuhi kepala, tak pernah mati meski keriput merata pada setiap pori-pori. "Alhamdulillah, Ya Rabb, Kau berikan aku Emak yang selalu memudahkan urusanku dalam berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islam."
Sungguh, Emak menjadi ratu di rumah kami. Ratu yang bertahta di singgasana hati kami. Meski tanpa mahkota, Emak kuratukan sejak kecil, terus menjadi ratu hingga kini. Seluruh fungsi indra Emak mulai berkurang, tetapi kasih sayang Emak selalu berkembang tak kenal musim. Aku yang sering tak tahu diri membuat Emak kesal. Astaghfirullah. Padahal di surah Al-Isra ayat 23 sudah jelas memerintahkanku untuk berbakti dan tidak berkata kasar.
"Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik."
Tergelincirnya sikapku sering membuat Emak tersinggung, tetapi hati Emak mudah luluh dan terus membersamaiku hingga kini. Tak ada sumpah serapah apa lagi kutukan yang keluar dari lisan Emak saat aku membuat ulah. Hatinya penuh cinta pada kami, anak cucunya, cinta yang bersandar pada Sang Maha Pemilik Cinta. Duhai, pantaslah Emak menjadi ratu di rumah meski tanpa mahkota.
Emak, kau ratu kami
Kasih sayangmu tiada tepi
Besar cinta kasihmu bernaung cinta Ilahi
Walau tanpa mahkota, sayangmu terus terpatri.
Tak ada kidung kesedihan yang menganga
Dadamu seluas samudra
Kamus luka dan sakit hati tertutup seketika
Berganti maaf pembawa bahagia
Ratu tanpa mahkota tersusun di kepala
Di kakimu surga menanti
Dengan ketulusan bakti
yang dirangkai sepenuh hati. [ ry ].
Paiton, 12 Januari 2025
0 Comments: