Headlines
Loading...
Oleh. Arumintantri Azizah

SSCQMedia.Com-
“Bu, di penghujung akhir tahun ini, aku ingin ungkapkan perasanku yang selama empat tahun terpendam di dalam hatiku. Bu ..., aku rindu.”

Berbicara sosok seorang ibu tak akan habis sepanjang masa, perjuangan dan pengorbanannya tak akan bisa terbalaskan dengan apa pun.

“Bu, masih ingat tidak ketika aku SMA, Bu? Setiap hari Senin pagi, Ibu akan mengantarku berjalan kaki menyusuri pematang sawah, menyeberangi sungai sampai ke pinggir jalan raya, menunggu aku mendapatkan bis dan melambaikan tangan ketika aku sudah ada di dalam bis. Setelah itu Engkau akan pulang lagi dengan berjalan kaki sendirian.”

“Aku rindu usapan tanganmu ketika aku mau tidur, Bu. Kau usap dengan lembut rambutku. Kau gosok punggungku sampai aku terkantuk, dan aku selalu rindu dengan lucumu, Ibu yang selalu berusaha membuat anaknya tersenyum dan tertawa.”

Punya suami tetapi seperti single mom, segala sesuatu engkau yang kerjakan dan suamimu tak peduli sama sekali. Engkau selalu  mengajarkanku tentang kuatnya hidup, ikhlas, dan tak boleh cengeng. Engkau selalu mengajarkanku melakukan sesuatu yang terbaik.

“Bu, ingat ‘kan Ibu, ketika kita baru pindah rumah? Pindah ke desa yang tak ada orang Islamnya, desa yang semuanya beragama Budha. Sampai kita mau salat Jumat saja harus berjalan kaki yang sangat jauh ke desa sebelah. Alhamdulillah, Bu, dengan adanya Ibu saat itu, masyarakat jadi tertarik dengan Islam dan berbondong-bondong masuk Islam.” 

“Bu, masih ingat nggak, Bu? Ketika aku belajar naik sepeda dan terjatuh, Engkau dengan tersenyum bilang, ‘Semangat, Mbak, insyaallah Mbak bisa!’ dan aku pun bisa, Bu.”

“Dan Bu, ingat ‘kan Bu? ketika setiap malam Jumat kita menonton film horor sambil menarik selimut, pingin menonton tapi takut ....”

“Bu, pernah ketika malam hari jam dua, Engkau bangunkan aku, Bu. Ibu bilang, ‘Mbak, temenin Ibu yuk, nyari bapakmu ke desa tetangga, masak jam dua belum pulang’ ... dan aku yang waktu itu masih kelas 3 SD bangun dan ikut denganmu, Bu ... menyusuri jalan kampung yang belum ada listriknya sampai ke jalan samping kuburan. Dari kejauhan aku lihat ada orang yang tiduran di atas kursi kayu panjang dengan pakaian putih. Ketika aku bilang sama Ibu, Ibu cuma bilang, ‘Mbak baca Al-Fatihah ya, jalannya biasa saja dan jangan lari’ ... dan aku pun mengikuti apa yang Ibu bilang walau aku takut banget, Bu.”

“Bu, Ibu ingat juga nggak ketika setiap hujan deras aku kabur dari rumah, Bu? Hujan-hujanan dengan teman-teman di lapangan belakang rumah, dan Ibu selalu menunggu di depan pintu rumah sambil berzikir.”

“Bu, Ibu pasti ingat juga ‘kan? ketika setiap musim wabah belalang, aku akan pergi dengan teman-temanku dan pulangnya membawa sekantong plastik belalang.”

“Kenakalanku itu tidak membuatmu emosi, Bu, atau bahkan tidak sedikitpun membuatmu berlaku kasar kepadaku. Engkau selalu menegurku dengan cara halus dan memelukku.”

“Bu, ingat ‘kan, Bu? Ketika aku dan anak-anak Ibu sudah besar, kami sering gantian meneleponmu malam-malam, Bu, sambil menggodamu tentang yang horor-horor ... dan kami akan ketawa mendengar suaramu yang khas itu ... suara ketakutan.”

“Dan Bu, masih ingat tidak, Bu? Ketika Kau sakit di rumah sakit? Engkau meneleponku dan bilang, ‘Aku pingin makan sambel pecel buatanmu loh, Nduk’.”

“Dan ketika menjelang tutup usiamu, Engkau masih mencari suamiku, Bu. Bercanda dengan suamiku dan mendoakan suamiku ....”

“Bu ... Ibu, aku rindu, Bu ... sangat rindu. Semoga Allah memberikan pahala kepadamu, Bu, ditempatkan di surganya Allah Swt., amin.” [Ni]

Bogor, 31 Desember 2024

Baca juga:

0 Comments: