Headlines
Loading...
Oleh. Nimas Migi Berghiani

SSCQMedia.Com- Wanita tangguh itu adalah mama. Mama berasal dari Suku Jawa. Menikah dengan bapak yang berasal dari Suku Madura. Berbeda latar belakang budaya, tetapi alhamdulillah beliau berdua bisa saling melengkapi satu sama lain. Di saat usia mama menginjak 40 tahun yang lalu, mama sudah hidup menjanda karena kecelakaan yang merenggut nyawa bapak.

Mama memiliki dua orang putri. Ya, kakak perempuanku dan aku. Sejak duduk di bangku pendidikan, kakakku sudah hidup mandiri di luar kota. Pun ketika sudah bekerja, ia juga masih merantau di luar kota. Berbeda dengan aku, si bungsu yang sejak lahir, sekolah, dan bekerja tetap berada di 1 kota dan 1 rumah yang sama dengan mama. Mungkin bisa dibilang kalau aku ini adalah "anak mama". Karena sejak bayi hingga dewasa senantiasa hidup berdampingan bersama mama.

Jika diingat-ingat, saat dulu bapak telah pergi mendahului kami, bagaimana bisa kami bertahan hidup saat itu? Tentunya selain karena pertolongan Allah, mama adalah seorang wanita karier. Jadi, masih bisa menghidupi dirinya dan kedua putrinya. Walaupun pasti dalam perjalanannya tidak mudah bagi mama untuk menjalani hari-hari sebagai orang tua tunggal.

Hidup di tengah-tengah tantangan era sekulerisme dan kapitalisme, tak lantas membuat mama menjadi abai dalam menjalankan perannya sebagai ummu wa rabbatul bait. Ya, di tengah kesibukan mama sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta, mama tetap berusaha menyeimbangkan perannya sebagai orang tua dan sebagai wanita karier. Mama adalah orang yang profesional dalam bekerja di kantor. Saat di rumah, mama pun kembali ke fitrahnya sebagai ibu yang baik bagi kami anak-anaknya. 

Mama menjadi teladan yang baik bagi kami. Mama juga tetap meluangkan waktu untuk kami di sela kesibukannya. Memang benar adanya bahwa sosok ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kami pun belajar banyak hal baik dari mama. Kesabaran, kemandirian, semangat, kerja keras, kepedulian, tawakal, serta banyak hal positif lain yang bisa kami dapat dari sosok mama. 

Kali pertama aku hidup berjauhan dengan mama yaitu ketika aku telah menikah. Karena aku harus ikut dengan suamiku yang berdomisili dan bekerja di luar kota. Masih teringat jelas wajah mama ketika aku berpamitan untuk berangkat pergi meninggalkan rumah saat itu. Wajah yang penuh dengan keridaan dan keikhlasan dari seorang ibu kepada anaknya. Meskipun rasa sedih pasti juga berkecamuk di dalam dirinya. Mama pun menjalani hari-harinya seorang diri karena kakakku juga telah menikah dan tinggal di luar kota pula bersama suaminya. Namun, rasa sepi yang seharusnya hadir bisa cukup tertutupi dengan kesibukan mama dalam bekerja.

Setelah menikah, aku memutuskan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Tentu saja banyak waktu yang aku habiskan di rumah sebagai seorang istri dan ibu dari keempat anak laki-lakiku. Suamiku bekerja sebagai pegawai swasta yang di tiap harinya berangkat kerja di pagi hari dan pulang tiba di rumah saat petang. Bisa dibilang energiku cukup terkuras sehari-harinya untuk mengurus diri-sendiri, suami, anak-anak, dan juga rumah. Namun, alhamdulillah Allah mampukan meskipun tanpa kehadiran ART di rumah. Beruntungnya, sebisa mungkin suami juga senantiasa dengan senang hati untuk membantu dalam urusan anak dan rumah. Suami juga tak jarang memberikan waktu me time sebagai sarana aku dalam melepas penat.

Satu hal yang juga tak kalah penting, semua ini mampu aku jalani karena bekal dari pengasuhan mama dahulu. Segala hal baik yang pernah aku lihat, dengar, dan terima, aku terapkan pula di kehidupan rumah tanggaku. Sebagai seseorang yang dulunya juga "anak rumahan", cukup memudahkanku  dalam menjalani aktivitas setelah menikah yang mayoritas memang berkutat di dalam rumah. 

Ada satu momentum bagiku yang hingga detik ini masih membekas dan berkesan tentang mama. Saat itu, aku akan melahirkan anak ke-2. Inginku bisa melahirkan dekat dengan mama, seperti saat melahirkan anak pertamaku dulu. Karena bagaimanapun mayoritas kita pasti ingin jika saat melahirkan nanti bisa dekat dengan orang tua, terutama ibu. Namun, takdir berkata lain. Qadarullah saat itu pandemi COVID-19 sedang melanda.

 "Kamu tidak masalah jika harus melahirkan di perantauan, Nak?"

 "Iya, Ma. Do'akan saja."

 "Kalau kamu tetap mau melahirkan di sini, nanti biar Mama saja yang keluar dari rumah. Mama bisa cari kos-kosan atau yang lain untuk tempat tinggal sementara."

 "Tidak perlu, Ma. InsyaAllah keluarga kecil kami bisa melewati proses kelahiran ini di perantauan." Seperti itulah kira-kira dialog kami saat itu.

 Masyaallah, meskipun baru sebatas rencana, tetapi bagiku itu adalah sebuah ungkapan pengorbanan dari seorang ibu kepada anaknya.

Bagi kami anak-anaknya, mama telah menjalankan perannya sebagai ummu wa rabbatul bait dengan paripurna. 

 Jazakillahu khayran katsiran, Ma.
Semoga semua jerih payah saat mengandung, melahirkan, membesarkan, mendidik, serta membersamai kami selama ini terbayar oleh surga-Nya nanti. Aamiin Ya Rabbal Alamiin.

Dari Anas bin Malik ra. Rasulullah saw. bersabda:
 "Barangsiapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa, maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku." Lantas Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendekatkan jari-jemarinya. (HR. Muslim 2631) .

 Biidznillah, semoga kami pun bisa menjadi sosok itu. Sosok ummu wa rabbatul bait yang insyallah dapat membentuk generasi yang saleh salihah, cerdas, dan berakhlak baik di tengah tantangan sekulerisme dan kapitalisme yang luar biasa saat ini. Yassarallah. Aamiin Allahumma Aamiin. []

Baca juga:

0 Comments: