Headlines
Loading...
Efisiensi Digaungkan, Pelayanan Dikorbankan

Efisiensi Digaungkan, Pelayanan Dikorbankan

Oleh. Tri Widarti S.Pd I.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Anggaran negara kembali digerogoti oleh gunting efisiensi. Dengan dalih penghematan, ia dipotong di sana-sini, merintih kesakitan, sementara rakyat kecil harus menanggung akibatnya. Pendidikan kehilangan dayanya, riset kehilangan harapannya, dan layanan kesehatan terengah-engah mencari napas.

Lihatlah dunia pendidikan yang kini kebingungan. Ia bertanya, ke mana dana yang seharusnya menopang riset dan inovasi? Sayangnya, jawabannya pahit: "Aku telah disunat, tak bisa banyak berbuat.

Pemangkasan anggaran riset kian memperparah kondisi penelitian di Indonesia. Tempo.co (13 Februari 2025) melaporkan bahwa anggaran riset nasional kembali mengalami pemotongan drastis, memperburuk harapan kemajuan ilmu pengetahuan di negeri ini.

Sementara itu, ribuan siswa di Sumenep harus menelan pil pahit ketika program Makan Bergizi Gratis tiba-tiba mengucapkan selamat tinggal. "Aku tak lagi mampu menyuapi kalian," katanya lirih. CNN Indonesia (17 Februari 2025) memberitakan bahwa lebih dari 2.000 siswa di Sumenep tak lagi mendapatkan makanan bergizi gratis akibat pemangkasan anggaran.

Di sisi lain, program Makan Bergizi Gratis (MBG) nasional melangkah dengan anggaran yang katanya cukup, tetapi jalannya tersandung masalah demi masalah. Presiden terpilih Prabowo Subianto mengklaim program ini dapat menghemat anggaran Rp750 triliun, tetapi apakah benar efisiensi ini akan menyelamatkan program atau justru seperti tambal sulam yang tak kunjung menyelesaikan akar masalah? Kompas (16 Februari 2025) melaporkan bahwa klaim penghematan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak.

Ada yang aneh dengan cara kerja pemangkas anggaran ini. Ia seolah berpikir bahwa mengurangi anggaran adalah solusi ajaib untuk mencegah kebocoran dan korupsi. "Kurangi saja, maka semuanya akan aman!" serunya. Tetapi, benarkah demikian?

Bayangkan seseorang yang memiliki Rp10 juta tetapi takut uangnya dicuri. Lalu, demi menghindari kehilangan, ia memangkasnya menjadi Rp5 juta. Apakah itu berarti uangnya aman? Tidak juga. Justru dengan uang lebih sedikit, ia makin kesulitan mencukupi kebutuhan. Begitu pula dengan anggaran negara. Pemangkasan bukan solusi, justru memperparah penderitaan rakyat karena layanan dasar semakin tercekik.

Kesehatan mengerang, "Aku butuh lebih banyak tenaga medis, lebih banyak obat, lebih banyak alat!" Tetapi, ia hanya menerima sisa-sisa. 

Pendidikan mengeluh, "Aku ingin membuat anak-anak negeri ini cerdas, tetapi bagaimana jika ruang gerakku makin sempit?" 

Dan riset, yang seharusnya menjadi pilar kemajuan bangsa, hanya bisa duduk di sudut, menggelengkan kepala, bertanya-tanya mengapa masa depannya terlihat semakin gelap.

Sementara itu, di sudut lain, ada anggaran yang tetap melaju tanpa hambatan. Alutsista tersenyum puas, proyek-proyek besar melangkah tegap, dan kepentingan korporasi menari-nari di atas lembaran kebijakan yang mereka genggam erat. Korporatokrasi tersenyum penuh kemenangan, sementara rakyat hanya bisa menggigit bibir, bertanya-tanya apakah pemimpin mereka masih melihat ke bawah atau sudah terlalu tinggi menatap kepentingan segelintir orang.

Efisiensi yang dipaksakan ini tidak ubahnya seperti pisau bermata dua. Ia katanya memotong yang tak perlu, tetapi mengapa justru yang esensial yang ia kikis habis? Riset meratap, pendidikan berjuang bertahan, kesehatan tersungkur, tetapi ada yang tetap tegak berdiri. Anggaran yang seharusnya bisa dipangkas justru tetap membengkak, seolah kebal dari gunting efisiensi.

Jika anggaran bisa bicara, ia pasti menangis melihat nasibnya. Ia seharusnya menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat, bukan sekadar angka-angka yang dipotong dan dipindahkan sesuka hati. Dalam Islam, anggaran bukanlah sekadar neraca untung rugi, tetapi amanah yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab.

Seorang pemimpin dalam Islam adalah raa’in (pengurus rakyat), bukan sekadar administrator yang bermain dengan angka tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi rakyat kecil. Rasulullah ï·º bersabda:

"Imam (pemimpin) itu adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Islam memiliki sistem ekonomi yang kokoh, yang memastikan negara tidak bergantung pada utang dan pajak untuk membiayai kebutuhan rakyat. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam menjelaskan bahwa dalam Islam, negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyat tanpa membebani mereka dengan pajak yang mencekik atau kebijakan yang merugikan. Islam memiliki berbagai sumber pendapatan negara yang sah, seperti fai', kharaj, jizyah, zakat, serta pengelolaan sumber daya alam yang tidak boleh diserahkan kepada korporasi.

Dengan sistem ini, negara tidak perlu memangkas anggaran pendidikan, kesehatan, atau riset demi menutupi defisit akibat kebijakan yang salah. Justru, Khilafah Islam akan memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya secara penuh tanpa diskriminasi, tanpa harus menunggu belas kasihan kebijakan yang berubah-ubah.

Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah juga menegaskan bahwa tugas utama seorang pemimpin adalah memastikan kesejahteraan rakyatnya. Jika pemimpin lebih berpihak kepada kepentingan korporasi daripada rakyatnya, maka ia telah mengkhianati amanah yang diberikan kepadanya.

Khilafah Islam akan menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis syariat secara kaffah. Anggaran negara tidak akan diatur berdasarkan kepentingan elite tertentu, melainkan berdasarkan kebutuhan rakyat secara adil dan proporsional. Tidak akan ada cerita di mana pendidikan harus mengemis, kesehatan harus merintih, atau riset harus menyerah karena kehilangan dukungan dana.

Jika saja anggaran bisa memilih, ia pasti ingin berada dalam sistem yang memperlakukannya dengan adil—bukan dipotong tanpa arah, bukan dikorbankan untuk kepentingan yang salah, tetapi dikelola dengan bijaksana dalam sistem Islam kaffah di bawah naungan Khilafah.

Wallahu 'alam. [ ]

Baca juga:

0 Comments: