Headlines
Loading...
Lagu Klasik, Harga Naik Rakyat Tercekik

Lagu Klasik, Harga Naik Rakyat Tercekik


Oleh. Tri Widarti S.Pd.I 
(Kontributor SSCQMedia.Com, Esais, dan Analis Pemikiran Islam)

SSCQMedia.Com—Setiap menjelang Ramadhan, sebuah simfoni lama kembali dimainkan. Nada-nada sumbang dari kenaikan harga menggema di pasar, merambat ke dapur-dapur rumah tangga, lalu mengendap dalam keluhan rakyat kecil. Seperti orkestra yang telah diatur sejak lama, harga beras, minyak goreng, gula, dan daging mulai mendaki tangga nada yang semakin tinggi. Sementara rakyat berusaha menyusun irama kehidupan mereka dengan anggaran yang kian menipis, para spekulan memainkan instrumen licik mereka di belakang layar, menciptakan kelangkaan buatan demi melipatgandakan keuntungan.

Sistem ekonomi kapitalisme yang kini bercokol, bagai panggung megah yang hanya diperuntukkan bagi segelintir pemain besar. Harga bukan lagi sekadar angka, tetapi alat permainan di tangan mereka yang mengendalikan pasokan. Di pasar, para pedagang kecil menggelengkan kepala, menghela napas panjang, tak kuasa melawan arus harga yang kian menggila. Sementara itu, pemerintah seolah menjadi penonton yang tak bisa menghentikan pertunjukan ini, hanya berdiam diri atau sekadar mengeluarkan janji-janji kosong.

Islam, dengan keadilan aturannya, telah lama menegaskan bahwa pasar tidak boleh menjadi arena keserakahan. 

Rasulullah bersabda: "Tidak boleh melakukan ihtikar (penimbunan barang) kecuali orang yang berdosa." (HR. Muslim, no. 1605).

Hadis ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan hukum yang mengikat. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan bahwa ihtikar, atau penimbunan barang untuk menaikkan harga, adalah kezaliman terhadap masyarakat. Dalam sistem Islam, negara tidak boleh menjadi penonton, tetapi harus turun tangan mengawasi pasar, memastikan distribusi barang berjalan adil, dan menghalau permainan kotor para spekulan.

Namun, dalam tatanan kapitalisme, harta hanya berputar di kalangan mereka yang berkepentingan, menjadikan rakyat sebagai bidak catur yang harus menerima nasib. 

Padahal, Allah Swt. telah berfirman: "Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr: 7).

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menegaskan bahwa negara memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mencegah monopoli yang merugikan rakyat. Khalifah Umar bin Khattab r.a., dalam kepemimpinannya, tidak membiarkan harga melonjak tanpa kendali. Ia mendirikan lumbung-lumbung pangan dan mendistribusikannya langsung kepada rakyat saat krisis melanda, memastikan kesejahteraan tetap terjaga.

Sementara itu, Islam juga menanamkan pentingnya kemandirian pangan. Negara bertanggung jawab memastikan sektor pertanian berkembang, agar rakyat tidak terus-menerus bergantung pada impor. 

Rasulullah bersabda: "Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. Abu Dawud, no. 3073).

Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menjelaskan bahwa negara harus memfasilitasi masyarakat dalam mengelola sumber daya alamnya. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam juga menekankan bahwa tanah yang subur harus dikelola oleh mereka yang mampu mengolahnya, bukan dibiarkan menganggur di bawah kepemilikan segelintir pemodal besar. Jika prinsip ini diterapkan, ketergantungan pada impor bisa dikurangi, harga bisa stabil, dan rakyat tidak perlu lagi menghadapi lonjakan harga yang mencekik.

Namun, dalam kapitalisme, negara justru membuka pintu lebar-lebar bagi impor, menekan petani lokal, dan membiarkan para pemain besar mengambil alih pasar. Akibatnya, harga-harga terus melambung, dan rakyat kecil hanya bisa menatap kosong rak-rak pasar yang semakin tak terjangkau.

Di sinilah sistem Islam hadir sebagai solusi. Dalam sistem Khil4f4h, baitul mal berfungsi sebagai jantung ekonomi yang memastikan kesejahteraan rakyat. Zakat, infak, dan pendapatan negara dikelola untuk kepentingan umat, bukan untuk memperkaya segelintir elite. 

Rasulullah bersabda: "Imam (pemimpin) adalah pengurus, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. al-Bukhari, no. 893; Muslim, no. 1829).

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Al-Khilafah menegaskan bahwa khalifah bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyat, termasuk dalam memastikan kebutuhan pokok tetap terjangkau. Ia bukan sekadar pemimpin politik, tetapi pelindung umat yang tidak akan membiarkan rakyatnya kelaparan akibat permainan spekulan.

Lagu klasik ini, yang terus dimainkan setiap tahun, sebenarnya bisa dihentikan. Namun, selama kapitalisme masih menjadi panggung utama, pertunjukan ini akan terus berulang. Harga akan terus menari mengikuti irama kepentingan pemodal, rakyat akan terus menderita, dan spekulan akan terus berpesta pora.

Kini, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan terus menjadi penonton yang pasrah, atau mulai melangkah menuju sistem yang menjamin keadilan bagi semua? Islam telah menawarkan jalan yang terbukti adil dan menyejahterakan. Tinggal keberanian kita untuk mengangkat tongkat konduktor dan mengganti simfoni lama dengan harmoni baru yang lebih menenangkan. Wallahualam. [MA]

Baca juga:

0 Comments: