Headlines
Loading...
Pagar Laut, Bukti Negara dalam Cengkeraman Oligarki

Pagar Laut, Bukti Negara dalam Cengkeraman Oligarki

Oleh. Nurfadilah Kustanti
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com-Beberapa hari ini sedang ramai diperbincangkan persoalan pemagaran laut. Kita tahu bahwa pagar laut ini menjadi perhatian yang sangat serius. Bukan hanya sekadar keberadaan pagar itu sendiri, tetapi ini juga berhubungan dengan kedaulatan negara. Karena sejatinya, laut merupakan aset milik bersama yang seharusnya semua orang bebas untuk mempergunakannya. Tetapi hari ini, kita melihat sepertinya ada beberapa kelompok orang dengan kepentingan tertentu, ingin memanfaatkan laut tersebut dengan cara memagarinya. Negara seakan abai atas amanah dalam menjaga kedaulatannya.

Dilansir dari laman Tribunnews.com (18/1/2025), pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer ini pertama kali diungkap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Eli Susiyanti atas laporan warga pada 14 Agustus 2024 lalu. Pemasangan pagar tanpa izin ini dinilai menghambat aktivitas nelayan dan berpotensi merusak keseimbangan ekosistem pesisir.

Sedangkan menurut Tirto.id (23/1/2025), pemerintah hingga kini masih meraba-raba siapa yang bertanggung jawab atas pemasangan pagar laut di perairan utara Tangerang, Provinsi Banten. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid pun kompak mengatakan masih melakukan penyelidikan soal polemik pagar laut itu. Yang lebih mengejutkan lagi adalah pembangunan pagar laut ini di area yang sudah memiliki HGB (Hak Guna Bangunan). Luas area yang berstatus HGB ini adalah 537,5 hektar. Artinya ruang laut telah dieksploitasi oleh kepentingan sebuah proyek swasta. Adanya status HGB pada ruang kelautan bertentangan dengan keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) No. 3 Tahun 2010 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Jadi tidak boleh ada pengambilan ruang laut untuk kepentingan umum atau rakyat.


Buah Sistem Kapitalisme

Polemik pagar laut ini adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Yaitu memberi ruang kebebasan kepemilikan laut, darat, dan sumber daya alam lain, yang seharusnya menjadi milik umum atau masyarakat, menjadi milik individu atau swasta. Kedua pihak tersebut bebas mengkavling-kavling bahkan memilikinya. 

Pagar laut ini seolah menjadi simbol ketundukan penguasa pada kapitalis. Kasus seperti ini mencerminkan bagaimana sistem kapitalisme membuka celah bagi privatisasi sumber daya publik. 

Kapitalisme menjadikan negara tidak memiliki kedaulatan mengurus urusan umat. Negara hanya menjadi regulator yang bergerak sesuai arahan para kapital (pemilik modal), bahkan menjadi penjaga kepentingan para kapital tersebut. Akibatnya negara tidak memiliki kuasa untuk menindak tegas para kapital yang perbuatannya menyengsarakan rakyat.


Islam Mengatur Kepemilikan Umum

Islam memiliki aturan yang jelas terkait kepemilikan umum. Laut, sungai, dan sumber daya alam lainnya termasuk dalam kategori milik umum (milkiyyah 'ammah), yang harus tetap dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Rasulullah saw. bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya alam yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, termasuk laut, tidak boleh dimiliki atau dimonopoli oleh individu maupun swasta. Berdasarkan hal tersebut maka negara memiliki kedaulatan penuh untuk mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyat. Negara tidak berhak menjual wilayah laut kepada individu atau korporasi. Karena laut milik umat. Aktivitas memagari laut adalah aktivitas proteksi (melindungi) wilayah tertentu yang dalam Islam hanya boleh dilakukan oleh negara. Proteksi oleh negara harus bertujuan untuk kemaslahatan umum. Seperti untuk keperluan jihad, membantu fakir miskin atau menjaga kepentingan seluruh umat. Sedangkan aktivitas memagari laut justru menimbulkan dampak negatif. Terutama bagi nelayan yang menggantungkan hidupnya di laut. Jika laut dipagari nelayan akan kesulitan mencari nafkah. Maka dalam Islam, aktivitas tersebut haram hukumnya.

Khilafah dengan sistem Islam di dalamnya, tidak akan tunduk pada korporasi. Karena Islam memiliki serangkaian aturan dan mekanisme pengelolaan harta milik umum. Islam memiliki solusi yang lebih manusiawi dan berkeadilan dalam mengelola sumber daya alam. Di mana hasilnya tidak boleh dimonopoli segelintir pihak, tetapi harus dikelola oleh negara secara adil dan transparan. Demikianlah aturan Islam dalam menjaga hak kepemilikan. 

Para penguasa dan pejabat dalam khilafah akan menjalankan tugas-tugas mereka dengan baik dan amanah. Karena mereka menyadari bahwa jabatan tersebut akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Swt. kelak di akhirat. Keadilan akan tegak di atas landasan akidah Islam dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Wallahualam bissawab. [Hz]

Baca juga:

0 Comments: