Headlines
Loading...

Oleh. Ana Mujianah
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Semburat jingga terlukis indah di langit Jakarta. Membentuk siluet gedung bertingkat yang berdiri angkuh. Menyamarkan gubuk-gubuk reyot di bantaran kali yang makin tenggelam dalam kelamnya malam.

Menjelang Isya, Adi masih berkeliaran di jalanan. Tertatih menyeret karung putih jumbo yang berisi gelas dan botol plastik bekas. Menyusuri trotoar ditemani temaram lampu jalan ibu kota. Dengan sabar membuka setiap tong sampah yang ia temui. 

Saat karungnya mulai penuh, bocah laki-laki delapan tahun itu berjalan lebih cepat. Terseok-seok memanggul karung yang ukurannya melebihi tubuhnya menuju pengepul barang bekas. Karena besarnya karung, seakan karung itu berjalan sendiri di tengah malam yang makin kelam. 

Sesampainya di pengepul, Adi segera mengantre untuk menimbang jerih payahnya dari siang hingga malam. Sekarung jumbo botol dan gelas plastik yang dia kumpulkan biasanya tak mencapai 10 kilogram. Namun, baginya tak ada pilihan, karena hanya itu yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan uang. Di usianya yang belia, yang harusnya untuk belajar dan bermain, bocah kelas 2 SD itu harus banting tulang demi sesuap nasi. 

Adi hanya bisa pasrah, meski per kilo botol dan gelas plastik yang dia kumpulkan hanya dihargai 2 ribu rupiah, kadang 5 ribu rupiah jika si pengepul sedang berbaik hati padanya. 

"Adi, ini uang kamu. Semua 15 ribu ya," kata Pak Amir, bos pengepul barang bekas.

"Ini, buat saku sekolah besok. Cepat pulang, sudah malam!" perintah Bos Amir seraya menyodorkan dua lembar lima ribuan.

"Makasih, Bos," ucap Adi dengan mata bersinar. Kaki mungilnya pun segera beranjak meninggalkan gudang yang penuh dengan tumpukan barang bekas.

Sepanjang jalan, seulas senyum terus melekat di wajahnya. Membayangkan sang ibu yang terbaring lemah akan bisa makan malam hari ini. Karena sudah dua hari, Adi tak berangkat mulung karena sakit. Sisa uang yang ada hanya cukup untuk makan satu orang. Sang ibu pun harus mengalah menahan lapar demi anak semata wayangnya supaya kenyang.

Sungguh, senyum yang mungkin hanya hadir sesaat. Esok hari, entah senyum itu akan terus menemani hari-hari bocah kecil itu atau justru sirna, digilas ganasnya kehidupan ibu kota yang individualis, yang memaksa bocah seumuran Adi harus mengais rezeki demi bertahan hidup.

***
 
Gang sempit di sudut kota menjelang pukul 9 malam terlihat masih ramai orang. Adi berhenti di warung nasi langganan yang terletak di tengah perkampungan kumuh di muara banjir kanal. Seperti biasa, Bude Darmi, penjual nasi warteg itu selalu melebihkan lauk dan nasi yang dibeli Adi. Lalu bocah laki-laki itu akan bergegas pergi, berjalan dengan berjungkit ke kanan dan ke kiri menyusuri gang sempit menuju tempat tinggalnya. Senyum semringah terus mengembang di wajahnya dengan tentengan kantong kresek berisi banyak makanan. 

"Ibu pasti senang," gumam Adi lirih.

Mendekati gubuk reyot yang ia tempati bersama sang ibu, sayup terdengar Mpok Ijeh memanggil-manggil namanya. Adi berhenti sejenak menajamkan pendengaran. Setelah yakin, ia bergegas melanjutkan langkah kaki mungilnya. Pikirannya kalut, khawatir terjadi apa-apa dengan sang ibu. 

Siang tadi, sewaktu Adi hendak berangkat mulung, ibunya mengeluh sesak napas. Badannya pun lemas. Namun, Adi tetap berangkat karena tak enak meminta makan pada Mpok Ijeh terus.

"Adi, Adi, ibu kamu!" Tergopoh-gopoh Mpok Ijeh menyambut Adi di depan bilik berdinding lempengan seng karatan tempat tinggal Adi. Banyak orang berkerumun.

"I-ibu kenapa, Mpok?" tanya bocah itu terbata menerobos kerumunan orang masuk ke dalam rumahnya. Terlihat Pak RT dan dokter Puskemas berdiri di samping tubuh wanita yang tergolek lemah tak berdaya.

"Adi, maafkan kami! Ibu kamu ... kondisinya ngedrop dan terlambat mendapat penanganan," ucap dokter puskesmas menyesalkan.

Langit seakan runtuh menimpa tubuh mungil bocah laki-laki itu. Ia langsung limbung menubruk tubuh wanita yang tergolek kaku di depannya.

"Ibuu ... bangun, Bu! Ayo kita makan! Adi bawa banyak makanan dari Bude Darmi. Tadi ibu bilang lapar, kan?" Bocah itu terus meraung meratapi ibunya yang sudah tak bernyawa di atas dipan reyot satu-satunya di rumah itu.

Lengkap sudah status yang disandangnya. Kini, Adi, bocah laki-laki delapan tahun itu bukan hanya menjadi yatim tapi juga piatu. Tak ada yang tahu apa yang tebersit dalam benak bocah itu. Membesarkan hati dengan rasa ikhlas ataukah marah dengan takdir yang menimpanya.

Orang-orang sekitarlah yang berperan membentuk pribadinya. Menuntunnya tumbuh dengan perasaan yang benar atau menelantarkannya liar bersama ganasnya kehidupan yang penuh keserakahan.

Tamat. []

Baca juga:

0 Comments: