Headlines
Loading...
Badai PHK Menghantam, Nasib Buruh Suram

Badai PHK Menghantam, Nasib Buruh Suram

Oleh. Vie Dihardjo
(Kontributor SSCQMedia.Com, Alumnus Hubungan Internasional)

SSCQMedia.Com—Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus terjadi di Indonesia pada 2025. Berbagai industri terdampak mulai dari industri makanan, tekstil hingga elektronik sehingga ribuan buruh menjadi korban. Teranyar, PT. Sri Rejeki Isman (Sritex) memutus hubungan kerja 10.665 buruh karena dinyatakan bangkrut oleh kurator melalui keputusan pengadilan.

Sebelum Sritex, beberapa perusahaan juga telah merumahkan ribuan karyawannya. Di antaranya Yamaha Divisi Musik Indonesia mengumumkan telah menutup pabriknya dan menyebabkan 1.100 orang kehilangan pekerjaan. PT. Fast Food Indonesia Tbk., pemegang lisensi Kentucky Fried Chicken  (KFC) telah menutup 47 gerainya akibat kondisi keuangan yang memburuk yang menyebabkan 2.274 karyawan kehilangan pekerjaan. PT. Sanken Indonesia, perusahaan elektronik asal jepang juga mengalami hal serupa, akan merumahkan 400 karyawan pada Juni 2025 setelah sebelumnya 500 orang, total yang akan diberhentikan sekitar 900 orang karyawan.

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sepanjang Januari hingga September 2024 terjadi PHK sebanyak 52.993 meningkat dari periode yang sama tahun lalu, paling banyak di Jawa Tengah, Banten dan DKI Jakarta. 

Badai PHK massal diprediksi akan terus terjadi. Pengamat ekonomi kerakyatan sekaligus dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UGM, Dr. Hempri Suyatna, mengatakan tingginya angka PHK ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Maraknya produk-produk impor ilegal maupun penurunan daya beli masyarakat akibat devaluasi rupiah juga dituding menjadi faktor terjadinya gelombang PHK.

Ditambah dengan proses transisi politik di Indonesia mendorong banyak perusahaan untuk menunggu dinamika politik yang akan terjadi. PHK banyak terjadi pada industri-industri padat karya, misalnya pada bidang tekstil atau garmen.

Pendapat senada disampaikan oleh Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantono, pada awalnya menjelaskan deflasi yang terjadi akibat penurunan daya beli masyarakat dapat mengakibatkan turunnya permintaan barang dan jasa. Kondisi ini tentu secara langsung dapat membuat sektor bisnis dan industri dalam negeri semakin lesu.

Penurunan daya beli masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah. Menurut Direktur Ekonomi Center of Economics and Law Studies, Nailul Huda, terdapat perbedaan penyebab turunnya daya beli masyarakat periode 2008-2009 dipengaruhi oleh krisis global sementara kebijakan pemerintah menaikkan harga pertalite pada 2022 menggerus daya beli masyarakat hingga kini. Penurunan daya beli menyebabkan barang-barang produksi tidak terbeli, menjadi salah satu faktor melemahnya industri dan seretnya investasi.

Nasib Buruh Suram jika Industri Dikelola Secara Kapitalistik

Sistem ekonomi kapitalistik menekankan pada hak individu untuk mengelola sumberdaya dengan kekuatan modal yang dimiliki untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Keberadaan negara untuk melindungi dan memberi akses untuk para pemilik modal dengan membuat berbagai macam regulasi. Sementara, buruh dianggap sebaga bebani bagi sebuah proses produksi. Terbukti, PHK massal yang terus terjadi, yang hanya menghitung untung rugi perusahaan.

Berbagai kebijakan pemerintah justru memarginalkan kaum pekerja, misalnya kebijakan alih daya (outsourcing), longgarnya kebijakan impor hingga undang-undang omnibus law yang mendapat protes dari pekerja hingga kini meskipun telah dijalankan.

Sepuluh ribu lebih buruh di Sritex terkena PHK misalnya, belum mendapatkan hak-hak mereka, negara seolah mengalihkan tanggung jawab untuk mengurus buruh yang terkena dampak PHK.  Setelah perusahaan dinyatakan pailit oleh negara melalui pengadilan, selanjutnya adalah tugas kurator untuk memastikan buruh kembali bekerja, sementara tugas memastikan para pencari nafkah bisa bekerja adalah tugas negara.

Buruh akan semakin suram nasibnya kalau industri padat karya dikelola secara kapitalistik, karena buruh dianggap sebagai faktor produksi yang akan dibuat seefisien mungkin sehingga mampu menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dampak PHK akan menyasar lebih luas, bukan hanya pada buruh saja, tetapi juga pada penurunan daya beli hingga potensi peningkatan tindak kriminalitas, apalagi PHK dilakukan justru pada momen puasa Ramadan dan lebaran, di mana kebutuhan cenderung meningkat.

Politik Ekonomi Islam

Islam menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk buruh, secara orang per orang. Posisi negara adalah sebagai raai'n (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab).

Rasulullah saw. bersabda, “Imam yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari dari Abdullah Ibnu Umar).

Negaralah yang akan mengeluarkan kebijakan politik ekonomi berbasis akidah Islam, termasuk undang-undang tentang ketenagakerjaaan  yang akan dibuat berdasarkan syariat islam.

Pembangunan industri dalam Islam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik muslim maupun non muslim di dalam negeri. Negara tidak melakukan ekspor sebelum kebutuhan di dalam negeri terpenuhi. Negara memiliki peta kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa yang terkait dengan kebutuhan pokok.

Pemenuhan kebutuhan pokok dalam negeri menjadi prioritas dalam sistem ekonomi Islam. Jadi, penawaran akan selalu bisa memenuhi kebutuhankkaw1 masyarakat, tidak terjadi kelangkaan,  sementara permintaan terus ada.
Dari sisi non fisik, negara akan mengupayakan kemandirian dalam membangun industri, yakni tidak tergantung pada orang-orang kafir, misalnya terkait permodalan hingga teknologi.

Kemandirian ini akan melindungi para buruh (pekerja), karena industri tidak akan mempunyai hutang yang sangat besar yang tidak bisa terbayar lalu pailit yang akhirnya berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh (karyawan).

Politik ekonomi dalam Islam, memastikan semua pencari nafkah dapat bekerja untuk menafkahi keluarganya. Apabila seseorang tidak mampu bekerja maka negara wajib mengusahakan pekerjaan untuknya. Apabila ia tidak kuasa bekerja, karena sakit, tua atau sebab-sebab lain yang membuatnya tidak bisa bekerja, maka hidupnya wajib ditanggung oleh orang yang diwajibkan oleh hukum syarak untuk menanggungnya.

Apabila tidak, orang tersebut (yang diwajibkan oleh hukum syarak), maka hidupnya wajib ditanggung oleh Baitulmal  atau negara. Di samping itu, ia juga mempunyai hak lain di Baitulmal, yaitu zakat (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam, hlm. 253).

Di dalam Islam, tidak diperbolehkan seseorang menganggur selama ia mampu untuk bekerja. Dalam hal ini negara menyediakan insentif atau pelatihan agar para pencari nafkah memiliki skill sehingga mampu memasuki berbagai jenis industri yang sesuai dengan keterampilannya.

Termasuk para pencari nafkah yang bekerja atau memiliki keterampilan di bidang pertanian, maka negara juga memberi fasilitas berupa harta tertentu dari Baitulmal agar para petani dapat menggarap lahannya.

Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah memberikan kepada para petani di Irak harta dari Baitulmal yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka tanpa meminta imbalan dari mereka (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam, hlm. 257).

Memastikan para pencari nafkah dapat bekerja untuk memenuhi nafkah bagi keluarga mereka adalah tugas negara. Negara yang menerapkan sistem Islam kafah akan menjamin tersedianya lapangan kerja yang luas dan memadai dengan berbagai kebijakan ekonomi Islam.

Wallahualam bissawab. [An]

Baca juga:

0 Comments: