Headlines
Loading...
Banjir Kembali Melanda, di Mana Peran Negara?

Banjir Kembali Melanda, di Mana Peran Negara?

Oleh. Ummu Fernand
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Hujan deras mengguyur Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Akibatnya, banjir melanda wilayah tersebut. Wilayah Jabodetabek dikepung banjir sejak Senin, 3 Maret 2025 malam. Sungai yang mengalir di Jabodetabek meluap akibat intensitas hujan yang tinggi. Wilayah yang paling parah terdampak banjir yakni Bekasi, permukiman, mall, hingga stasiun ikut terendam banjir, dengan ketinggian hingga 3 meter.

Anggota Komisi 4 DPR RI, Firman Subagyo, menuding program pembukaan lahan 20 juta hektar hutan menjadi lahan untuk pangan, energi, dan air, menjadi pemicu terjadinya banjir di sejumlah wilayah Jabodetabek. Menurut Firman, pembukaan hutan menjadi lahan di Puncak, Bogor, membuat kawasan hijau menjadi gundul, sehingga air hujan tak bisa diserap dengan baik. Firman mengimbau, agar pemerintah berhenti melakukan program bagi-bagi lahan hutan (tirto.id, 6-3-2025).

Problem Sistemis

Bencana banjir terus berulang menunjukkan masalah ini bukan sekedar problem teknis, tapi sistemis. Masyarakat harus menyadari bahwa arah pembangunan kebijakan hari ini dibangun di atas paradigma Kapitalistik. Pembangunan abai pada kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia, hanya demi mengejar keuntungan secara maksimal.

Tentu saja paradigma ini tidak hadir begitu saja di tengah masyarakat, namun ada pihak yang menerapkannya. Penguasa hari ini secara sadar telah menerapkan sistem Kapitalisme. Hal itu tampak jelas dari kebijakan pemerintah yang membagikan lahan 20 juta hektar.

Lahan yang dibagikan itu sudah tak lagi menyisakan hutan yang menjadi resapan dan penopang air di kawasan Puncak. Pembangunan brutal demi mengejar keuntungan dan mitigasi yang lemah akhirnya menyebabkan banjir bandang di wilayah Jabodetabek. Tak ayal, rakyat pun terkena dampaknya.

Rakyat harus menyadari bahwa banjir bandang ini adalah bentuk kezaliman penguasa Kapitalis yang hanya mengejar keuntungan. Sejatinya, rakyat masih memiliki harapan agar pembangunan memudahkan kehidupan manusia, dan kelestarian alam tetap terjaga, yaitu pembangunan harus berdasarkan konsep syar'i yang berasal dari Allah, Pencipta manusia, alam semesta dan seisinya.

Konsep Pembangunan dalam Islam

Sebagai ideologi, Islam mampu memberikan arahan pada negara, bagaimana membangun negara dengan tepat. Dalam Islam, negara harus dibangun berdasarkan prinsip syariah, yakni kepemimpinannya harus menjadi raa'in (pengurus), dan mas'ul (penanggung jawab) urusan rakyatnya. Rasulullah Saw. bersabda, "Imam adalah raa'in (penggembala), dan ia bertanggungjawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari).

Corak negara yang seperti ini hanyalah Daulah Khilafah. Dengan posisi penguasa sebagai raa'in, pembangunan dalam negeri ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan investor. Apalagi bagi-bagi jatah karena sudah menjadi tim sukses.

Selanjutnya, kelestarian lingkungan akan menjadi hal yang begitu dipertimbangkan oleh Khilafah, sebab syariat melarang manusia merusak alam. Allah Ta'ala berfirman  yang artinya, "Dan apabila ia berpaling dari kamu, ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kebinasaan." (TQS al-Baqarah:205).

Islam juga memerintahkan pembangunan tidak mempertandingkan faktor ekonomi dengan faktor ekologi. Pembangunan harus bervisi ibadah, yakni pembangunan harus bisa menunjang visi penghambaan kepada Allah Ta'ala. Untuk itu, jika suatu proyek pembangunan bertentangan dengan aturan Allah ataupun berdampak pada terzaliminya hamba Allah, maka pembangunan tersebut tidak boleh dilanjutkan.

Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan zalim, maka Allah akan mengalungkannya pada hari kiamat setebal tujuh lapis bumi." (HR. Muslim).

Inilah konsep pembangunan yang dibenarkan oleh Islam untuk mewujudkan arah pembangunan yang tepat. Paradigma yang tepat dan benar akan melahirkan kebijakan teknis yang benar pula. Karena itu, sebelum melakukan pembangunan, Khilafah akan melakukan pengkajian terkait infrastruktur yang rakyat butuhkan. Negara akan menerjunkan para ahli untuk membaca kebutuhan infrastruktur bagi rakyat, dan membuat skala prioritas dari sisi urgensitas dan kepentingannya. Pengkajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, lingkungan, geografi, dan lain-lain, juga dilakukan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak berdampak negatif.

Khalifah juga akan meminta saran dari majelis umat di pusat Daulah dan majelis wilayah di daerah yang merupakan representasi dari rakyat, sehingga mewakili aspirasi rakyat. Apabila daerah yang dikaji telah jelas memiliki potensi banjir atau merupakan daerah resapan, maka pembangunan tidak akan dilakukan di daerah tersebut. Justru Khilafah akan melakukan mitigasi yang kuat untuk mencegah terjadinya bencana, khususnya banjir.

Khilafah bisa membuat tanggul, bendungan kanal, penetapan hima sebagai kawasan buffer, dan beberapa teknis lainnya untuk mencegah terjadinya banjir. Bahkan Khilafah tanpa segan melakukan relokasi tanpa merampas ruang hidup warga, jika diketahui perkampungan mereka berpotensi menjadi genangan air.

Adapun dari aspek pendanaan, Khilafah sangat independen, karena keuangan negara Khilafah berbasis Baitulmal. Dengan posisi negara Khilafah sebagai raa'in, kehadiran negara akan terus mengurus rakyat dengan baik, sehingga rakyat hidup sejahtera, aman, dan nyaman, terhindar dari banjir maupun bencana alam lainnya.
Wallahualam bissawab. [ry]

Baca juga:

0 Comments: