Headlines
Loading...

Oleh. Nunik Soewarno
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Turunnya kebijakan efisiensi dari Presiden yang tertuang dalam Inpres Nomor 1/2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD 2025, secara cepat dilaksanakan di tingkat eksekutor. Departemen, dinas terkait, sampai lembaga terendah bergerak cepat melakukan segala sesuatu yang dirasa meningkatkan efisiensi.

Efisiensi yang dijalankan secara 'blitzkrieg' di tingkat pelaksana akhirnya justru lebih banyak merugikan masyarakat. Contohnya pemotongan dana pembiayaan infrastruktur dari pusat di kabupaten Pacitan. Pemotongan anggaran sebesar 101 M ternyata mengganggu program pembangunan infrastruktur yang termasuk program Nawa Karsa sehingga Pemda harus putar otak memilah lagi anggaran lain untuk bisa dialokasikan ke infrastruktur (radarmadiun.jawapos.com, 11-02-2025).

Di Magetan lain lagi kasusnya. 14 milyar dana APBD 2024 dialokasikan untuk pengadaan mobil dinas baru bagi pejabat teras dan pimpinan dewan padahal di sana masih ada sekitar 3.300 unit rumah tak layak huni (RTLH) yang membutuhkan penanganan. Menurut Teguh Adi Wiyono, Kabid Perumahan Disperkim kabupaten Magetan, jumlah RTLH akan terpotong 142 unit pertengahan tahun 2025 ini (jatimnesia.com, 14-02-2025).  Sementara itu di kabupaten Madiun, efisiensi terutama dilakukan di 14 pos. Yang terbesar untuk pos penggandaan, cetak, karangan bunga dan penunjang kegiatan seremonial serta perjalanan dinas (radarmadiun.jawapos.com, 15-02-2025).

Efisiensi

Efisiensi sejatinya dilakukan untuk menghindari berbagai pengeluaran yang tidak esensial, sehingga hasil pengelolaan anggaran sesuai dengan besarnya pengeluaran. Jamak terjadi di setiap akhir tahun berbagai kegiatan dilakukan oleh dinas terkait demi menghabiskan sisa anggaran. Seminar, studi banding dan sebagainya sering menjadi program sapu jagat demi menghindari kewajiban mengembalikan sisa anggaran ke kas negara.

Efisiensi ini sebetulnya sudah kerap dibahas seperti dilakukan oleh SBY yang menjabat Presiden dari 2004-2014. Presiden saat itu, mencium adanya 'pemubadziran' anggaran baik di kementerian, lembaga dan departemen pemerintah lain. Himbauan untuk mengefisienkan anggaran ini tentu dilakukan, karena seringnya muncul pernyataan dari kementerian dan lembaga terkait, bahwa telah melaksanakan program yang berhasil menyerap seluruh anggaran. Kurangnya transparansi program membuat pemakaian anggaran yang tidak efektif bisa terus berjalan. Padahal bila semua lembaga melakukan pengembalian sisa anggaran ada sekitar Rp 60 triliun dana bisa dimanfaatkan untuk program lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat (news.detik.com, 29-12-2010).

Langkah efisiensi dilakukan ketika ditemukan banyak pemanfaatan anggaran salah sasaran. Hanya saja yang menjadi masalah adalah langkah efisiensi yang dilakukan seharusnya tidak boleh mengurangi hak rakyat karena tugas pemerintah adalah mengurus rakyat. Nyatanya tidak satu pun terdengar kabar efisiensi di tingkat pejabat, selain pengurangan perjalanan dinas, seminar di luar kantor dan sejenis. Bahkan yang menyakiti hati rakyat, di saat rakyat kesulitan mendapatkan pekerjaan, pemerintah justru terus menambah stafsus dan staf lain yang diambil dari 'orang dekat' yang kadang tidak jelas tugasnya.

Menurut perhitungan dana yang didapat dari hasil efisiensi adalah sebesar US $44M. Direncanakan US $20M digunakan untuk kesinambungan program MBG demi janji kampanye. Sebuah 'program mulia' yang bahkan ditolak oleh para pelajar di Papua yang lebih memilih pendidikan gratis bagi kemajuan Papua. Tapi demi janji kampanye, semua harus dikalahkan.

Masih belum selesai rasa sakit hati rakyat, pemerintah justru menggunakan sisa dana hasil pemangkasan sebesar US $24 M justru dimasukkan dalam pengelolaan sebuah badan 'funding' bentukan baru pemerintah yang diresmikan awal Maret 2025, Danantara, badan yang akan mengelola 'dana segar' hasil efisiensi ke dalam berbagai kegiatan di bursa saham demi mimpi dana maya dalam jumlah besar meski harus memotong banyak hak masyarakat.

Islam, Tegas dan Jelas

Penguasa dalam Islam memiliki tanggung jawab yang sangat berat. Pertanggungjawaban dari setiap kebijakannya tidak hanya pada rakyatnya tapi lebih lagi pada Allah, pemberi amanah yang sebenarnya. Dengan kesadaran sedemikian kuat maka jabatan dalam Islam bukanlah sesuatu yang dijadikan kompetisi. Beda dengan saat ini, ketika orang melakukan berbagai upaya demi bisa menduduki suatu jabatan.

Umar bin Khattab memberikan syarat berat dalam pemilihan pejabatnya. Calon pilihannya haruslah seorang yang zuhud, gemar beribadah, tunduk dan patuh pada Allah (muslimahnews.net, 08-03-2025). Beratnya syarat inilah yang menjaga seorang pemimpin dalam mengemban amanah. Godaan ketika berada di pucuk pimpinan bisa datang layaknya air bah. Tanpa ketundukan dan kepatuhan pada Rabb-nya sangat mudah bagi seorang pemimpin tergelincir bujukan setan. KKN membudaya sebab prinsip takwa telah dilepaskan. Jabatan dianggap kesempatan. Sudah menjadi pemahaman umum setiap pemilu butuh dana besar dan dana tersebut bisa didapatkan dari para investor yang tentu saja 'no free lunch.' Setiap dana yang diberikan bagi pemenangan calon tentu harus mendapat kompensasi sepadan. Hal ini tidak terjadi dalam Islam sebab kampanye dilaksanakan efektif dan tidak butuh biaya besar.

Dalam sistem pemerintahan Islam ada sebuah badan yaitu Mahkamah Madzalim, sebuah lembaga yang memiliki wewenang mengawasi Khalifah. Dalam pengawasannya Khalifah tidak akan gegabah membuat kebijakan termasuk dalam mengelola anggaran dari Baitulmal. Semua harus transparan dan akuntabel. Khalifah sangat paham bahwa amanah jabatannya adalah pertanggungjawaban dunia akhirat. Bahkan kedudukannya bisa diberhentikan dengan tidak hormat apabila Khalifah melakukan kesalahan yang melanggar syariat. Dengan pengawasan sedemikian ketat tertutup kemungkinan tindak tipu-tipu demi mengakali peraturan.Semua  ini tidak lepas dari beratnya syarat pemilihan pejabat apalagi seorang Khalifah.

Maka bisa dipahami bila syarat terkait syariat tidak digunakan sebagai kriteria memilih pemimpin maka kerusakan terbuka lebar. Tidak ada liga korupsi yang berjalan bak pertandingan olahraga dan semua kerusakan ini hanya bisa dibersihkan dengan pelaksanaan syariat Islam. Islam dikembalikan sebagai sumber hukum dalam mengelola Negara. InsyaaAllah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur pasti terlaksana, tidak hanya menjadi syair lagu. [Rn]

Baca juga:

1 komentar