Ironi Minyak Goreng Subsidi dan Nasib Rakyat Negeri Ini
Oleh. Dita S
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com— “Orang bilang tanah kita tanah surga”, begitulah lirik dalam suatu lagu yang menggambarkan negeri Indonesia. Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Berbagai masalah pelik menerjang negeri ini dan mengiris hati rakyatnya, seperti yang kita ketahui terjadi efisiensi anggaran yang menjerat seluruh urusan, mundurnya tanggal pelantikan calon pegawai sipil negara dari waktu yang telah di tetapkan sebelumnya, bencana alam banjir tanpa penanganan mitigasi yang serius, hingga berita korupsi negara hingga triliunan rupiah, yang menambah sesaknya hidup sebagai warga negara yang gemah ripah loh jinawi ini. Membuat kita makin bertanya, dimanakah letak “tanah surga” yang orang bilang?
Seolah belum cukup menyulitkan rakyat miskin dengan drama gas elpiji beberapa waktu lalu, mereka kembali dibohongi perkara minyak goreng subsidi. Setelah viral video yang menunjukkan bahwa takaran minyak goreng MinyaKita yang tidak sesuai dengan keterangan di labelnya, Satgas Pangan Polri menyelidiki dan menemukan tiga perusahaan produsen yang melakukan hal tersebut di Depok, Tangerang, dan Kudus. Berdasarkan keterangan Ketua Satgas Pangan Polri Brigjen Pol. Helfi Assegaf, sampel botol MinyaKita dengan label 1 liter yang ditemukan ternyata hanya berisi 700-900 ml saja. Penemuan serupa juga terjadi pada minyak kemasan 2 liter (antaranews.com, 9/3/2025).
Selain pengurangan isi dalam kemasan, Polda Jawa Timur juga menemukan pemalsuan kualitas minyak goreng subsidi di Sampang Madura dan Surabaya. Modus pemalsuan tersebut dilakukan dengan mengemas minyak goreng curah yang ada di pasaran dan melabelnya menjadi MinyaKita (Tempo.co, 13/2/2025). Terlebih, harga per kemasan tetap berada di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp15.700. Ironinya, masyarakat tidak dapat beralih dari MinyaKita karena harganya yang memang lebih murah dibanding minyak goreng merek lain (SWA.com, 11/3/2025).
Kecurangan dalam Sistem Kapitalisme
Inilah pil pahit yang harus ditelan masyarakat. Sistem kapitalisme yang dianut oleh negara tidak mampu membasmi berbagai praktik curang dalam urusan rakyat, justru akan makin melanggengkannya. Asas manfaat di dalam sistem ini membebaskan perseorangan, kelompok, atau perusahaan tertentu untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan halal-haram dalam prosesnya. Ekonomi kapitalistik berprinsip untuk menciptakan marjin yang besar antara pengeluaran (biaya produksi) dan penghasilan yang akan diperoleh. Hal ini dimaknai oleh para pelakunya dengan cara yang keliru dan justru mengorbankan hak rakyat demi keuntungan yang lebih besar.
Berkaitan dengan pengadaan kebutuhan minyak goreng dan barang-barang lain, negara menyerahkan rantai distribusi pangan kepada korporasi sehingga mereka memiliki izin untuk menguasai bahkan mengotak-atiknya. Negara hanya hadir sebagai fasilitator dan regulator, sehingga para pemangku kebijakan akan menyusun kebijakan-kebijakan yang “harus” selaras dengan kepentingan para pemilik modal tersebut. Dan sebagai gantinya, jutaan hingga miliyaran rupiah bisa dikantongi sendirian.
Telah menjadi rahasia umum bahwa kesejahteraan rakyat tidak pernah menjadi orientasi dalam praktik politik negeri ini, melainkan hanya sebentar saja saat diperlukan suaranya dalam pemilu. Alhasil, kehidupan rakyat yang kian pelik ini seolah tidak pernah mengganggu ketenangan tidur para pengusaha dan penguasa selama pemasukan ke dalam rekening mereka terus mengalir. Negara hanya mampu menciduk sebagian kecil oknum nakal yang berbuat curang tanpa melakukan upaya preventif yang serius melindungi rakyat dalam skala yang lebih besar.
Islam Berorientasi pada Rakyat
Islam turun dengan seperangkat aturan dari Sang Pengatur Kehidupan. Penerapan Islam yang sesungguhnya dalam naungan sistem yang sempurna dapat menjamin kehidupan yang memberkahi para makhluknya. Atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., setiap individu akan menjalankan tugas dan kewajibannya di dunia. Termasuk sebagai pemimpin dan pengelola urusan umat.
Negara dalam pengaturan Islam tidak hanya hadir sebagai “pe-merintah”, namun harus hadir sebagai raa’in yang mengurusi setiap aspek kehidupan rakyat, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Para penguasa menomorsatukan kepentingan rakyat dengan aturan-aturan yang lahir dari syariat Islam, tanpa pertimbangan bisnis dan keuntungan individu atau segelintir orang saja. Hal ini ditunjukkan dengan pengelolaan hajat hidup umat dari hulu ke hilir yang akan diurus langsung oleh negara, bukan diserahkan pada korporasi. Sehingga dapat dipastikan bahwa pasokan bahan pangan seperti minyak goreng akan tersedia dengan kuantitas cukup, kualitas baik, dan harga yang dapat dijangkau masyarakat.
Secara teknis, negara memiliki mekanisme pengawasan rantai distribusi melalui qadhi hisbah yang rutin melakukan pemantauan di pasar-pasar sehingga deteksi terhadap kecurangan dan distorsi yang mungkin terjadi dalam transaksi pasar akan secepat mungkin ditangani dengan tegas tanpa terkecuali.
Khatimah
Kecurangan penyediaan minyak goreng subsidi ini hanyalah satu dari sekian banyak masalah miris yang dialami rakyat. Alih-alih menjadi negeri kaya raya dengan kehidupan terjamin seperti yang ditawarkan oleh Islam, negeri ini masih dibebani dengan para penguasa yang ribut cari untung sendiri. Jika tidak segera bangkit, maka selamanya hidup negeri ini tidak akan pernah menjadi “tanah surga” lagi. Maka pertanyaannya, maukah kita selamatkan Indonesia dalam naungan Islam kafah? [Rn]
Baca juga:

0 Comments: