Headlines
Loading...
Kecurangan Minyakita, Buah Busuk Kapitalisme

Kecurangan Minyakita, Buah Busuk Kapitalisme

Oleh. Ade Farkah, S.Pd.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Setelah sempat dihebohkan adanya Pertamax oplosan, kini masyarakat kembali dikhawatirkan dengan adanya kecurangan isi minyak goreng Minyakita. Indikasi adanya pengurangan isi dalam kemasan Minyakita tersebut menggugah Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran untuk melakukan inspeksi mendadak (sidak) di sejumlah pasar, salah satunya pasar Tambahrejo, Surabaya. Dalam sidaknya, Mentan yang diikuti oleh tim dari Kantor Staf Kepresidenan, Wamentan Sudaryoni serta Satgas pangan menemukan adanya pengurangan isi dalam kemasan Minyakita, yakni hanya 700 ml dari yang seharusnya 1 liter sebagaimana tertera dalam kemasan.

Tidak hanya itu, Andi Amran juga mengungkapkan bahwa untuk wilayah Jawa Timur setidaknya terdapat tujuh perusahaan yang melakukan tindak kecurangan tersebut. Sementara itu, di wilayah Jakarta sebanyak tiga perusahaan dan di Solo ada dua perusahaan (antaranews.com, 14-3-25).

Dalam keterangan yang lain, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim, Kombes Pol Budi Hermanto menyampaikan bahwa Minyakita dengan kemasan 5 liter hanya terisi sekitar 4,5 liter. Sedangkan kemasan 1 liter hanya berisi 800-890 mililiter. Tim Polda Jatim juga menemukan adanya Minyakita palsu yang dikemas ulang oleh perusahaan UD Jaya Abadi dalam ukuran 1 liter yang isinya hanya sekitar 800-890 mililiter, (surabaya.kompas.com, 12-3-2025).

Dari fakta di atas terlihat bahwa dalam beberapa kasus, masyarakat banyak dicurangi, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tentu saja hal ini sangat merugikan masyarakat. Namun, hal ini tidaklah mengherankan karena sistem ekonomi kapitalisme memberikan ruang yang sangat terbuka bagi munculnya praktik-praktik kecurangan. Sistem ekonomi kapitalisme, berlandaskan pada kebebasan. Maka, di sistem ini setiap orang bebas menempuh cara apa pun untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.

Begitu pun dengan kebijakan politik ekonominya, yaitu mewujudkan kesejahteraan individu/masyarakat secara perkiraan (rata-rata) saja,  sehingga tidak mampu menyentuh keadaan masyarakat secara pasti.

Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi masalah kecurangan yang terjadi, kita perlu memahami fakta yang terjadi di lapangan serta akar penyebabnya.

Minyakita merupakan merek dagang yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.

Peluncuran Minyakita merupakan upaya pemerintah dalam mendistribusikan minyak goreng hasil alokasi pasar dalam negeri melalui kemasan sederhana. Namun pada pelaksanaannya, meski dimiliki oleh pemerintah, perusahaan lain dapat menggunakan merek Minyakita dengan syarat memiliki surat izin persetujuan penggunaan merek yang dikeluarkan oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri.

Hal tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan minyak goreng berkualitas dengan harga yang terjangkau. Selain itu, hal ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasar domestik. Minyakita merupakan program lanjutan dari Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR). Bedanya hanya pada kemasan yang lebih kuat dan rapi.

Minyakita juga merupakan produk yang berasal dari kewajiban Domestik Market Obligation (DMO) bagi produsen minyak sawit yang ingin melakukan ekspor. Lantas, di manakah letak peluang munculnya tindakan kecurangan yang dilakukan oleh produsen Minyakita?

Skema DMO melalui Permendag No.18 Tahun 2024 pemerintah secara resmi menghapus peredaran minyak goreng curah dan meminta masyarakat beralih ke minyak goreng kemasan Minyakita. Kontribusi pelaku usaha eksportir produk turunan kelapa sawit ke pasar dalam negeri harus melalui skema DMO. Dengan demikian, eksportir produk yang membutuhkan hak ekspor perlu mendistribusikan minyak goreng rakyat dalam bentuk Minyakita.

Minyak goreng rakyat dapat diakui menjadi hak ekspor jika telah diterima di distributor pertama (D1) yakni, BUMN Pangan atau diterima di distributor lini (D2), (tempo.cbo, 20-8-2024). Hal inilah yang disinyalir membuka peluang terjadinya tindak kecurangan. Yaitu panjangnya rantai distribusi yang memungkinkan untuk meningkatnya biaya produksi. Apalagi saat kinerja ekspor sawit sedang lesu.

Saat minyak sawit mentah atau CPO mengalami kenaikan, sedangkan para produsen harus memenuhi kuota DMO maka keuntungan yang didapat perusahaan menjadi tidak maksimal. Kondisi ini bisa menjadi pendorong kecurangan Minyakita.

Sejalan dengan hal itu, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Peter Abdullah menilai bahwa kecurangan Minyakita sebagai bentuk penipuan oleh produsen nakal untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, (cnbcindonesia.com, 14-3-2025).

Dengan demikian, sistem ekonomi kapitalisme bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan. Ini karena kapitalisme justru menjadi sebuah ekosistem untuk tumbuh suburnya praktik-praktik kecurangan.

Jika ingin mengatasi praktik kecurangan, harus dilakukan pendekatan yang berbasis sistemis. Lantas, adakah sistem ekonomi yang mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak, baik bagi masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku usaha?

Terapkan Sistem Ekonomi Islam

Dalam banyak kesempatan, kita sudah sering mendengar tentang konsep ekonomi syariah yang tidak lain bersumber dari sistem Islam. Mengapa tidak dicoba untuk diterapkan sebagaimana dalam praktik perbankan?

Dalam sistem ekonomi Islam, setiap orang boleh melakukan aktivitas ekonomi. Namun, pada sebab-sebab kepemilikan dan jenis kepemilikannya, Islam memberikan batasan yang tegas. Sedangkan pada jumlah kekayaan yang dimiliki, Islam tidak membatasinya.

Adapun politik ekonomi Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat atau orang per orang secara nyata, tidak menggunakan prinsip rata-rata. Dalam kaitannya dengan kasus Minyakita, Islam memberikan hak dan kewenangan kepada setiap individu untuk membuat industri. Artinya, setiap orang diberikan hak untuk memproduksi barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Hanya saja, negara wajib hadir mengawasi dan mengatur industri-industri tersebut dengan pengaturan dan pengawasan yang bersifat umum. Dengan demikian, diharapkan mampu membantu meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi, membuka pasar-pasar bagi macam-macam hasil industri, serta menjamin ketersediaan bahan baku dan sebagainya.

Selanjutnya, negara wajib menangani secara langsung terhadap industri-industri tersebut. Maksudnya, negara berkewajiban untuk menentukan industri yang boleh beroperasi dan yang tidak boleh beroperasi. Misalnya, industri yang memproduksi barang haram, hukumnya haram.

Jika ternyata ditemukan adanya pelaku usaha/industri yang melakukan kecurangan, baik menurunkan standar kualitas produk apalagi mengurangi isi atau kandungan produk, maka akan diberlakukan sanksi tegas sesuai dengan dampak yang ditimbulkan di masyarakat. Dengan demikian, sistem Islam mampu menutup celah bagi seseorang, pelaku usaha, atau industri untuk melakukan kecurangan. [MA]

Baca juga:

0 Comments: