Koperasi Merah Putih, Bak Nostalgia Bahagiakan Rakyat
Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Kontributor SSCQMedia.Com, Institut Literasi dan Peradaban)
SSCQMedia.Com—Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Bidang Pangan menyatakan, atas perintah presiden untuk membentuk Koperasi Desa (Kop Des) Merah Putih di setiap desa untuk menjadi pusat kegiatan ekonomi. Tujuannya adalah menyerap hasil pertanian lokal dan mempersingkat rantai distribusi dari petani ke konsumen.
Kop Des ini akan dibangun di 70 hingga 80 ribu desa di seluruh Indonesia dengan anggaran per desa diperkirakan Rp3-Rp5 miliar, bersumber dari dana desa sebesar Rp1 miliar per tahun, yang akan dikumpulkan selama 5 tahun (suarasurabaya.net, 5-3-2025).
Selain itu, dalam pembangunannya juga akan melibatkan Himpunan Bank Negara (Himbara) untuk pendanaan awal, dengan sistem pengangsuran selama 3-5 tahun agar koperasi dapat beroperasi optimal.
Budi Arie Setiadi, Menteri Koperasi menambahkan, ada tiga model pengembangan Kop Des Merah Putih, pertama, membangun koperasi baru; kedua, merevitalisasi koperasi existing, serta ketiga, mengembangkan koperasi yang sudah ada.
Tindak lanjut dari kebijakan pemerintah ini, sudah terdata sekitar 64 ribu gabungan kelompok tani (gapoktan) siap beralih menjadi koperasi. Diharapkan Kop Des ini dapat mengintegrasikan sistem pertanian dan distribusi pangan di desa, memutus rantai distribusi yang merugikan, serta menekan harga pangan agar lebih terjangkau bagi masyarakat.
Tripitono Adi Prabowo pakar ekonomi pembangunan dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menjelaskan, koperasi memiliki sejarah yang panjang. Dengan spirit yang luar biasa, koperasi bisa menjadi situmulus perekonomian di desa. Tetapi ada pula koperasi berkamuflase menjadi jalan orang untuk memperkaya diri sendiri.
Tripitono menegaskan, kuncinya adalah bagaimana tata kelola Kop Des Merah Putih ke depan. Jika nanti dikembangkan dengan spirit yang sesuai jati diri, meski butuh pengembangan SDM dan waktu untuk pembinaan akan sesuai dengan yang diminta pemerintah. Sebaliknya, jika nanti terdapat berbagai tendensi kebijakan pusat yang tak selaras dengan daerah, bisa diduga ini hanya sekadar proyek sesaat belaka.
Terkait dana desa yang dijadikan sebagai sumber pembiayaan, Tripitono mengatakan berdasarkan UU nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian, fokus utama kesejahteraan adalah member koperasi. Baru setelah itu untuk kesejahteraan masyarakat di luar anggota koperasi. Jika dana desa bisa dialokasikan untuk menggerakkan koperasi sangat bagus, tetapi pemerintah perlu juga memikirkan BUMDes atau Badan Usaha Milik Desa, serta unit usaha lain yang selama ini didorong untuk menggerakkan ekonomi desa, jelas butuh regulasi dan pendampingan agar semua kebijakan pusat ini berjalan dengan baik dan tidak saling tumpang tindih.
Nostalgia Pemberdayaan Koperasi
Pemerintah seolah ingin bernostalgia, mengulang kejayaan koperasi sebagaimana era Soekarno dan Soeharto hingga Mohammad Hatta yang kala itu menjadi wakil presiden dinobatkan sebagai bapak koperasi Indonesia. Melalui tulisan, ceramah, dan kebijakannya, Hatta mempromosikan koperasi sebagai model ekonomi yang berlandaskan pada kerjasama dan solidaritas.
Salah satu karyanya adalah buku berjudul "Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun" yang terbit pada tahun 1971. Buku ini menjadi salah satu pedoman utama bagi perkembangan koperasi di Indonesia dan mencerminkan visi Hatta tentang pentingnya koperasi sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi (kumparan.com, 30-6-2024).
Asas kerjasama dan solidaritas inilah yang dianggap sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Namun, pada praktiknya, koperasi sama dengan badan usaha lainnya di negeri ini belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, sebab masih terbingkai dalam sistem ekonomi kapitalis yang menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan. Bukan lagi gotong royong.
Boleh dikata, inilah bentuk ketidakseriusan negara dalam mewujudkan kesejahteraan. Yang terlihat malah pelemparan tanggung jawab negara kepada rakyat melalui pembentukan koperasi, menggunakan dana desa kemudian simsalabim mampu mengatasi berbagai persoalan ekonomi seperti mengintegrasikan sistem pertanian dan distribusi pangan di desa, memutus rantai distribusi yang merugikan, serta menekan harga pangan agar lebih terjangkau bagi masyarakat.
Padahal mudah saja, cabut peraturan hari ini yang condong kepada kepentingan investor, selesai. Sayangnya kita sedang menerapkan sistem kapitalisme, di mana keputusan penguasa sangat dipengaruhi hasil kesepakatan regional maupun global sehingga muncul pasar bebas, impor terus menerus, penetapan harga, hingga eksploitasi tanpa batas terhadap kekayaan negeri ini.
Kapitalisme benar-benar membatasi peran negara jadi sekadar pengetok kebijakan (regulasi). Karpet merah selalu digelar cantik untuk para pemilik modal, sementara rakyat sendiri terabaikan. Kini mau menghidupkan koperasi, sudah pasti akan jadi kebijakan tambal sulam sebagaimana sebelumnya.
Terlebih jejak digital penyelewengan dana desa sebelum benar-benar difungsikan sebagaimana tujuan awal banyak terjadi, bahkan menjadi alat politik praktis mendulang suara bagi calon dan partai tertentu. Dana desa tak cukup, masih bakal ditambah pinjaman bank yang basisnya riba. Sudah bisa diterka ke mana arah asap mengepul, lagi-lagi kepada para pemilik modal yang berinvestasi di bank.
Sistem Islam Solusi Kehidupan Sejahtera
Jika kita jujur, kebijakan ini adalah bukti negara sebenarnya sedang berusaha mencari cara menyejahterakan rakyat, sayangnya salah jalan. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia sungguh miris jika koperasi dijadikan salah satu jalan meraih kemakmuran.
Dalam pandangan syariat, koperasi batil dan syirkah-nya dianggap tidak pernah terbentuk atau tidak pernah ada. Karena koperasi kosong dari unsur badan (hanya kumpulan orang yang menyetor modal) sehingga secara syar’i, syirkah-nya tidak terbentuk atau tidak ada.
Semua tasharruf (pengelolaan harta) koperasi itu adalah batil. Karena hanya sepakat mengumpulkan modal bukan sepakat untuk melakukan aktivitas bisnis, meski kelak bentuknya adalah koperasi simpan pinjam atau produksi. Terlebih semua pihak baik bekerja atau tidak sama-sama mendapatkan SHU (Sisa Hasil Usaha). Maka semua harta yang diperoleh melalui koperasi itu juga harta batil yang diperoleh dengan tasharruf yang batil sehingga tidak halal untuk dimiliki (Syeh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya "An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam", halaman 178-181, edisi muktamadah, 2004).
Dalam Islam, syirkah (kerjasama) yang dibentuk harus sesuai dengan syarat, baik Inan, Abdan, Mudharabah, Wujuh atau Mufawadhah, lalu dinamai koperasi atau didaftarkan sebagai badan hukum koperasi, maka tasharruf-nya adalah sah dan bertransaksi dengannya adalah boleh. Sebagai muslim tentu wajib terikat dengan halal haram sebagaimana ditetapkan dalam hukum syara.
Dalam Islam, pembangunan desa dan kota menggunakan konsep yang sama yaitu riayah suunil umah, artinya pemenuhan kebutuhan pokoknya dipenuhi oleh negara dengan kualitas yang sama, mekanisme yang sama. Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR. Muslim).
Wallahualam bissawab. [Rn]
Baca juga:

0 Comments: