Headlines
Loading...
Minyak Goreng Dioplos, Negara Kehilangan Peran

Minyak Goreng Dioplos, Negara Kehilangan Peran

Oleh. Novi Ummu Mafa
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Setelah drama Pertamax oplosan yang mengguncang kepercayaan publik, kini muncul skandal baru, yaitu minyak goreng oplosan dengan takaran yang tidak sesuai.

Baru-baru ini, Polres Bogor mengungkap sebuah pabrik rumahan di Desa Cijujung, Sukaraja, Kabupaten Bogor, yang memproduksi minyak goreng MinyaKita palsu. Pelaku mengemas ulang minyak curah tanpa izin resmi dan menjualnya sebagai MinyaKita, dengan volume yang tidak sesuai standar. (kompas.com, 12-03-2025)

Hal ini bukan sekadar pelanggaran etik bisnis biasa. Ini adalah bentuk eksploitasi terang-terangan terhadap rakyat yang semakin terimpit oleh biaya hidup yang semakin melambung tinggi.

Kasus minyak goreng oplosan mencerminkan carut-marut sistem ekonomi kapitalisme yang tidak berpihak pada rakyat. Produk MinyaKita, yang seharusnya menjadi solusi bagi masyarakat miskin dalam mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau, justru menjadi bukti nyata bagaimana ketidakadilan merajalela dalam sistem ini.

Lebih ironis lagi, praktik semacam ini mencuat di bulan Ramadan, bulan suci yang seharusnya diwarnai dengan semangat kejujuran dan kepedulian terhadap sesama. Namun, dalam sistem kapitalisme sekuler, tidak ada tempat bagi nilai-nilai moral dalam aktivitas ekonomi. Yang ada hanyalah logika keuntungan tanpa batas, di mana kebutuhan dasar rakyat pun menjadi komoditas, tanpa memandang aspek kemanusiaan.

Sistem Kapitalisme dan Dominasi Korporasi dalam Pangan

Ketergantungan negara pada korporasi dalam penyediaan pangan adalah konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalisme yang berasaskan liberalisme. Dalam sistem ini, negara bukanlah pengatur utama sistem ekonomi yang memastikan kesejahteraan rakyat, melainkan sekadar fasilitator bagi korporasi untuk menjalankan bisnisnya. Alhasil, produksi dan distribusi minyak goreng, yang seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab negara, justru diserahkan kepada mekanisme pasar yang didominasi kepentingan segelintir elite bisnis.

Akibatnya, barang kebutuhan pokok seperti minyak goreng, lebih ditentukan oleh mekanisme pasar ketimbang oleh negara. Korporasi raksasa yang mendominasi industri ini memiliki kekuatan penuh untuk mengontrol harga, pasokan, dan kualitas produk. Sementara rakyat, hanya bisa pasrah menerima kondisi yang ada. Keberpihakan pemerintah kepada korporasi tampak jelas dalam kebijakan ekonomi, di mana lebih mengutamakan stabilitas investasi daripada kesejahteraan rakyat.

Situasi ini menciptakan celah bagi berbagai praktik curang, mulai dari pengoplosan hingga pengurangan takaran demi keuntungan maksimal. Fenomena minyak goreng oplosan yang terjadi saat ini, hanyalah salah satu dari banyak contoh bagaimana kapitalisme mengabaikan prinsip keadilan dan kemaslahatan masyarakat.

Pemerintah memang melakukan inspeksi dan investigasi setelah kasus ini mencuat, tetapi kebijakan ini bersifat reaktif, bukan preventif. Negara baru bertindak setelah terjadi kerugian bagi rakyat, bukan sejak awal mencegah terjadinya kezaliman. Sementara itu, korporasi yang telah memperoleh keuntungan besar dari eksploitasi ini tetap beroperasi dengan berbagai cara, karena sistem ekonomi yang diterapkan memang memungkinkan mereka untuk melanggengkan praktik semacam ini. Kasus minyak goreng palsu dan tidak sesuai takaran tersebut, membuat rakyat kembali menjadi korban dalam pusaran permainan bisnis yang tak mengenal etika, sementara negara hanya menjadi penonton yang sesekali turun tangan setelah terjadi kegaduhan.

Alih-alih menciptakan sistem yang menjamin kepastian akses terhadap bahan pangan berkualitas, pemerintah justru membiarkan korporasi beroperasi dengan mekanisme yang memungkinkan kecurangan. Situasi ini hanya akan terus berulang selama sistem kapitalisme tetap menjadi landasan kebijakan ekonomi negara.

Dalam logika kapitalisme, eksploitasi semacam ini bukanlah penyimpangan, melainkan konsekuensi inheren dari sistem yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama. Selama kebijakan ekonomi tetap bertumpu pada pasar bebas dan liberalisasi sektor pangan, rakyat akan terus menjadi korban.

Solusi Islam

Islam menetapkan bahwa pengurusan hajat hidup rakyat harus berada di bawah kendali penuh negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi. Paradigma kepemimpinan Islam bukanlah bisnis atau keuntungan, tetapi pelayanan. Pemimpin dalam Islam adalah raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Imam (pemimpin) adalah raa’in dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. al-Bukhari).

Oleh karena itu, dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat termasuk pangan seperti minyak goreng. Negara dalam sistem Islam tidak boleh menyerahkan sektor pangan kepada korporasi, baik dari hulu hingga hilir. Pengelolaan sumber daya alam dan produksi pangan harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan, bukan sekadar mencari keuntungan. Negara akan mengelola sendiri produksi bahan baku minyak goreng seperti kelapa sawit, memastikan tidak ada monopoli atau eksploitasi petani kecil.

Selain itu, negara juga akan menyediakan subsidi bagi rakyat yang membutuhkan tanpa skema bisnis yang membebani keuangan negara serta menyusun regulasi yang ketat agar produksi minyak goreng tidak dikendalikan oleh segelintir oligarki. Dengan mekanisme ini, harga minyak goreng akan tetap stabil dan terjangkau bagi seluruh rakyat, bukan menjadi komoditas spekulasi di pasar bebas.

Selain memastikan produksi yang mencukupi, negara juga wajib mengawasi rantai distribusi agar tidak terjadi distorsi pasar yang menyebabkan harga melonjak atau produk menjadi langka. Dalam Islam, mekanisme pasar tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa kendali. Negara memiliki peran aktif dalam memastikan distribusi berjalan secara adil dan merata. Oleh karena itu, Khilafah akan melarang praktik penimbunan dan spekulasi harga yang menyebabkan kelangkaan serta kenaikan harga yang tidak wajar. Negara juga akan memastikan distribusi minyak goreng dikelola langsung oleh pihak yang amanah, bukan oleh kartel atau mafia pangan yang hanya mengejar keuntungan dengan cara zalim.

Dalam sistem Islam, pengawasan pasar dilakukan oleh Qadhi Hisbah, yaitu lembaga yang bertugas memastikan aktivitas ekonomi berjalan sesuai syariat. Hisbah memiliki wewenang langsung untuk melakukan inspeksi dan menindak segala bentuk pelanggaran. Jika ditemukan kasus kecurangan seperti pengoplosan minyak goreng atau pengurangan takaran, negara akan memberikan sanksi tegas kepada pelaku, bukan sekadar teguran atau denda ringan seperti dalam sistem kapitalisme.

 Hukuman bagi pelaku kecurangan bisa berupa larangan usaha, pencabutan izin usaha secara permanen, atau sanksi ta’zir (hukuman yang ditetapkan negara) yang bisa berupa denda berat atau bahkan hukuman fisik, jika kejahatan tersebut berdampak luas terhadap masyarakat. Dalam sejarah Islam, praktik ini telah diterapkan secara nyata, seperti dalam pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, yang pernah menjatuhkan hukuman tegas terhadap pedagang yang melakukan kecurangan dalam timbangan agar tidak ada lagi yang berani mengulanginya. [US]


Baca juga:

0 Comments: