Penegak Hukum Menjadi Pelanggar Hukum, Bagaimana Islam Memberikan Solusi?
Oleh. Aqila Fahru
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Ajun Komisaris Besar Fajar Widyadharma Lukman selaku Kepala Kepolisian Resor Ngada, Nusa Tenggara Timur terduga telah melakukan tindakan asusila kekerasan seksual kepada tiga anak di bawah umur. Tindakan bejat tersebut direkam dan diunggah oleh pelaku ke situs porno luar negeri, tepatnya di situs negara Australia.
Berkaitan dengan kasus ini, ia telah dinonaktifkan dari jabatannya. Diketahui dari laporan Imelda Manafe, selaku Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kupang pada hari Senin (10/3) mengatakan tiga korban tersebut masing-masing berusia 14 tahun, 12 tahun, dan 3 tahun (kompas.id,10/3/2025).
Kasus ini bermula dari laporan pihak berwajib Australia yang menemukan video asusila tersebut di situs porno negaranya. Setelah ditelusuri, video tersebut diunggah dari Kota Kupang, selaku tempat kejadian. Kejadian asusila tersebut terjadi pada pertengahan tahun 2024 yang lalu, ujar Imelda.
Pihak Australia kemudian melaporkan adanya video asusila tersebut ke Markas Besar (Mabes Polri). Selanjutnya Mabes Polri melakukan penyelidikan serta menangkap pelaku pada tanggal 20 Februari 2025. Kemudian pihak kepolisian menyerahkan para korban kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kupang untuk mendapatkan pendampingan. Saat ini pelaku juga telah melakukan pemeriksaan urin, terduga dinyatakan positif menggunakan narkoba (kompas.id,10/3/2025).
Sungguh miris melihat fakta yang ada. Kekerasan seksual yang dilakukan seorang Kepala Kepolisian selaku aparatur negara, yang seharusnya tugas utama sorang polisi adalah sebagai penjaga keamanan masyarakat, malah fakta yang ada justru berkebalikannya. Tindakan asusila yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh siapa pun malah dilakukan dari institusi yang seharusnya bertugas sebagai pemberantas pelaku tindakan asusila itu sendiri. Sebuah antitesis yang sangat memilukan.
Rusaknya perilaku penegak keadilan menjadi sebuah pertanyaan besar. Dalam KBBI disebutkan bahwa kepolisian merupakan sebuah kesatuan organisasi yang dipersiapkan negara untuk memelihara, menjaga keamanan serta ketertiban masyarakat, dan untuk menegakkan hukum. Akan tetapi fakta yang telah dipaparkan malah menunjukkan hal yang sebaliknya.
Dilansir oleh Tempo.co, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) telah mencatat terdapat 136 kasus kekerasan yang dilakukan oleh polisi dan 12 kasus yang dilakukan personel TNI selama 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Koordinator Badan Pekerja KontraS Dimas Bagus Arya pada 20 Januari 2025 menyoroti empat peristiwa kekerasan yang melibatkan aparat penegak hukum, yaitu kasus Afif Maulana, penembakan siswa SMK di Semarang, penembakan bos rental mobil di Tangerang oleh personel TNI AL dan kasus penyerangan warga Deli Serdang oleh tentara. Dimas melihat kepolisian telah gagal untuk menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan aparat secara transparan dan akuntabel.
Contoh saja pada kasus penembakan siswa SMK Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy, pelajar tersebut tewas ditembak oleh anggota Polres Semarang, Aipda Robig Zainudin. Disebutkan bahwa penindakan pelaku kasus tersebut dilakukan secara lamban, termasuk dengan pemenuhan pemulihan terhadap keluarga korban (tempo.co, 20/1/2025)
Terus berulangnya kejadian pelanggaran pada penegak hukum pada hakikatnya tidak hanya sekadar bersumber dari kesalahan pada oknum semata, akan tetapi juga berakar dari sistem pemerintahan yang berjalan hingga detik ini. Banyak faktor yang melatarbelakangi adanya kasus pelanggaran yang dilakukan oleh penegak hukum, di antaranya yaitu:
Pertama, tidak adanya suasana keimanan yang membuat seorang hamba memiliki rasa takut kepada Allah Swt.. Hal ini dikarenakan sistem kapitalis-sekuler menjauhkan hamba dari aturan-aturan yang telah Allah tetapkan. Aspek ketaatan ini sangatlah krusial agar tetap menjaga seorang hamba dari perbuatan dosa yang dapat merugikan dirinya sendiri dan merugikan orang lain.
Kedua, sistem perekrutan calon penegak hukum yang ada sangat rentan perilaku rasuah atau nepotisme. Karena sistem sekuler menjadikan seseorang menghalalkan berbagai cara untuk meraih tujuannya.
Ketiga, gaji yang diberikan belum mencukupi kebutuhan dan kesejahteraan anggota. Negara harus memastikan bahwa setiap masyarakat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Terkadang para oknum yang mencari “ tambahan “dengan melakukan tindakan kriminal dikarenakan gaji yang tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari atau ia menjadi korban hedonisme yang tumbuh subur di sistem sekuler.
Dalam Islam, syariat Islam yang diterapkan dalam penegakan hukum bertindak sebagai jawabir (penebus) dan zawajir (pencegah). Hal ini hanya dapat ditemukan di dalam Islam saja. Ketika hukum Islam diterapkan secara menyeluruh terutama dalam mengatasi tindakan kriminal, maka dosa para pelaku tindakan kriminal tersebut di dunia dapat terhapuskan. Inilah disebut dengan hukum Islam betindak sebagai jawabir (penebus dosa).
Selain itu penerapan syariat Islam kafah mampu menjadi sarana pencegah terjadinya tindakan kriminal baru di masa depan. Pencegahan ini disebut sebagai zawajir, yaitu memberikan efek jera baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat yang lain.
Dengan sanksi Islam para pelaku kriminal tidak akan berani untuk melakukan tindakan kriminal tersebut berulang kali. Sehingga sanksi Islam akan memberikan rasa adil bagi keluarga korban kejahatan. Dalam Islam, hukum dan penegak hukum wajib terikat dengan aturan Allah. Suasana takwa akan terwujud dan para penegak hukum akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa.
Karena itu, untuk membersihkan institusi penegak hukum dari oknum-oknum yang nakal, maka negara harus memiliki peran yang besar dengan menetapkan sistem ekonomi, sosial, pendidikan, politik, dan hankam yang bersandar pada syariat Islam secara menyeluruh dengan bingkai Khilafah. Wallahualam bissawab. [Ni]
Baca juga:

0 Comments: