PHK Massal Terulang, Indonesia Gelap Nyata Adanya
Oleh. Rina Herlina
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, kembali terjadi. Kali ini ada sekitar 10 ribu orang lebih yang menjadi korban. Mereka adalah karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, yang merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia. Perusahaan tersebut, akhirnya kolaps dan resmi tutup mulai Sabtu, 1 Maret 2025 (tempo.co, 1-3-2025).
Dengan adanya PHK besar-besaran tersebut, rasanya tagar Indonesia gelap yang sempat viral di media sosial, kian nyata adanya. Ya, masa depan rakyat dan negeri ini kian gelap dan suram. Entah akan seperti apa nasib bangsa ini ke depannya?
Permasalahan yang dihadapi negeri ini, cukup pelik dan kompleks. Ini karena penguasa mengadopsi sistem kehidupan yang menyengsarakan. Sistem kapitalisme yang menjunjung tinggi kebebasan. Sistem yang diharapkan mampu menjadi solusi untuk berbagai permasalahan, nyatanya menjadi sumber utama dari timbulnya berbagai persoalan.
Banyak persoalan muncul dan butuh solusi komprehensif. Sayangnya, penguasa negeri ini tak mampu berbuat banyak. Belum genap 100 hari pemerintahan yang baru berkuasa, para mahasiswa dari seluruh wilayah Indonesia turun ke jalan menyampaikan aspirasi dan kekecewaan atas kinerja pemerintahan Prabowo.
Kini, dengan adanya PHK pada sekitar 10 ribu orang lebih pekerja, makin menambah suram kinerja pemerintahan di negeri ini. Pemerintah terkesan abai dengan nasib rakyat. Bisa dibayangkan, sebanyak 10 ribu orang yang biasanya memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sekarang mereka menjadi pengangguran tanpa tahu harus bekerja apa dan mencari pekerjaan ke mana. Karena seperti yang kita ketahui bersama, negeri ini juga tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Terbukti, angka pengangguran saat ini sangat tinggi, bahkan didominasi oleh Gen Z.
Otomatis, kondisi tersebut membuat angka kemiskinan kian tinggi. Jurang antara si kaya dan si miskin makin lebar. Jika sudah seperti itu, dapat dipastikan angka kriminalitas juga makin meningkat. Sebagian besar orang akan melakukan apa saja demi bisa bertahan dan memenuhi kebutuhan dasarnya, sekalipun harus melakukan tindak kejahatan.
Kondisi tersebut adalah keniscayaan dalam sistem saat ini. Apalagi, akidah dari sistem rusak ini adalah pemisahan agama dari kehidupan. Maka wajar adanya, kejahatan meningkat karena tolok ukur kehidupan tidak lagi bersandar kepada hukum syarak/hukum yang berasal dari Allah Swt.
Umat sejatinya butuh sebuah sistem yang bisa menyelesaikan setiap persoalan yang muncul secara komprehensif, bukan tambal sulam. Umat butuh sosok pemimpin yang mengayomi, melindungi, dan fokus terhadap kepentingannya. Bukan pemimpin seperti yang ada saat ini, yaitu pemimpin yang lebih pro terhadap kepentingan segelintir orang alias para oligarki.
Umat menginginkan sosok pemimpin yang bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai dan tidak membiarkan mereka dalam ketidakpastian, apalagi sampai mengalami PHK. Sosok pemimpin seperti ini, tidak akan ditemukan dalam sistem kapitalisme-demokrasi. Mustahil sistem rusak ini bisa menghasilkan pemimpin yang pro terhadap kepentingan rakyat. Ini karena tolok ukur dalam menjalani kehidupan pada sistem ini adalah materi/manfaat.
Sehingga dapat dipastikan, jika penguasa hanya akan memikirkan nasibnya dan juga kelompoknya. Bahkan, sangat mungkin demi materi penguasa menggadaikan kepentingan rakyat. Inilah yang saat ini tengah terjadi. Banyak sumber daya alam yang seharusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat, justru diberikan kepada pihak swasta bahkan asing. Akibatnya, rakyat dilanda kemiskinan akut, meski faktanya tinggal di sebuah negeri yang berjuluk gemah ripah loh jinawi. [US]
Baca juga:

0 Comments: