Polemik Eiger Adventure Land, Tanggung Jawab Siapa?
Oleh. Anis Fitriatul Jannah, S.Pd
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Masih segar dalam ingatan bahwa beberapa tahun terakhir alih fungsi lahan kian massif. Banyak hutan-hutan digunduli dan dialihfungsikan dengan alasan untuk memajukan perekonomian. Kali ini terjadi kembali, polemik alih fungsi lahan (hutan) yang dijadikan destinasi wisata di Puncak, Bogor yakni Eiger Adventure Land, yang berakhir dengan penyegelan (news.detik.com, 13-03-2025).
Mirisnya, dalam kasus perizinan pendirian Eiger Adventure Land ini, antara Pemkab Bogor dengan Kementerian Kehutanan (Kemenhut), saling 'lempar batu sembunyi tangan'. Pemkab Bogor memberikan pernyataan bahwa pihaknya hanya mengeluarkan izin untuk fasilitas pendukung seperti area parkir dan pintu masuk, sedangkan izin utama diberikan oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sejak 2019. Sedangkan, Kemenhut menanggapi pernyataan Pemkab Bogor bahwa pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar.
Saling tuding atau saling tunjuk di antara para pemangku kebijakan membuktikan bahwa mereka sama-sama tidak mau disalahkan atas kerusakan lingkungan yang disebabkan alih fungsi lahan tersebut. Alih-alih mau bertanggung jawab dan memperbaiki yang tidak tepat, justru malah sebaliknya.
Kondisi di atas merupakan hal yang wajar terjadi dalam sistem kehidupan hari ini. Dalam sistem kapitalisme, penguasa tidak lagi memikirkan dampak yang ditimbulkan dari kebijakan yang diputuskan. Pertimbangan pertama dan utama terletak pada 'keuntungan' yang akan didapatkan.
Dari adanya kebijakan-kebijakan yang senantiasa menguntungkan pemodal (kapitalis), membuat rakyat semakin sengsara. Bagaimana tidak, banyaknya alih fungsi lahan justru menyebabkan lingkungan semakin rusak atau pun tercemar. Selain itu, tidak ada lagi tempat penyerapan air karena hutan yang merupakan 'paru-paru dunia' terus digunduli, yang akhirnya berujung pada banyak terjadinya bencana alam, misal banjir, longsor, dll. Alih fungsi lahan yang dalam hal ini berupa hutan, menyebabkan satwa kehilangan habitat aslinya, hingga banyak yang menghampiri rumah-rumah warga. Sementara sebagian lainnya mati kelaparan.
Benar-benar nyata kerusakan yang ada di depan mata. Hal ini diakibatkan oleh penerapan sistem kapitalisme di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Hal ini justru berbanding terbalik dengan penerapan sistem Islam. Sistem yang ketika diterapkan akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dalam pandangan Islam, kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, sebagaimana sabda Rasulullah:
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, api, dan padang rumput [gembalaan]” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Hutan termasuk dalam kategori 'padang rumput' yang ada dalam hadis di atas. Sehingga, karena kaum muslimin telah berserikat, maka hutan tidak bisa dimiliki oleh individu (swasta). Penguasa pun ketika mengelola hanya dengan tujuan memanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat, tentu dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Artinya, hutan tidak dikelola semata-mata untuk mendatangkan keuntungan bagi negara, dan abai terhadap dampak lingkungan bagi masyarakat.
Pengelolaan secara sempurna terhadap tiga hal di mana kaum muslimin berserikat atas hal itu, hanya akan kita temui dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Di mana khalifah sebagai raa'in (pemimpin) akan benar-benar menjalankan tugasnya mengurus urusan ummat (ri'ayah syuunil ummah) seoptimal mungkin.
Seorang khalifah sangat menyadari besarnya tanggung jawab yang dia emban. Ditambah lagi dengan kesadaran terhadap pertanggungjawaban atas yang dia pimpin, menjadikan Khalifah benar-benar berhati-hati dalam mengurus umat dan dalam menetapkan setiap kebijakan negara yang akan diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Atas kepemimpinan yang seperti inilah Islam sebagai rahmatan lil'alamiin akan dirasakan oleh seluruh alam. Bukan hanya bagi manusia, tetapi juga bagi hewan, tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: