Rugikan Rp193 Triliun, Kapan sih Para Koruptor Jera?
Oleh. Azrina Fauziah S.Pt
(Kontributor SSCQMedia.Com, Aktivis Dakwah)
SSCQMedia.Com—Lagi-lagi kasus korupsi viral diberitakan. Kali ini kasus korupsi menyeret nama perusahaan negara (BUMN) yaitu PT Pertamina Patra Niaga yang merupakan anak perusahaan Pertamina. Dugaan korupsi sementara yang diungkap oleh Kejaksaan Agung mencapai Rp193 triliun.
Dikutip dari cnnindonesia.com, 26 Februari 2025, salah satu modus korupsi dalam kasus ini, tersangka Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga diduga melakukan penyelewengan spek minyak yang dibeli melalui skema impor. Ia membeli minyak jenis RON 92 (Pertamax) padahal yang dibeli RON 90 (Pertalite). Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pindana Khusus Abdul Qohar menyatakan bahwa dugaan korupsi ini telah merugikan lebih dari Rp193 triliun.
Angka Rp193 triliun ini berasal dari hitungan satu tahun pada 2023. Sedangkan aksi korupsi telah berlangsung sejak 2018 hingga 2023. Alhasil ada kemungkinan negara dan rakyat dirugikan lebih besar.
Indonesia Darurat Korupsi
Dalam kasus korupsi Pertamina ini tentu saja rakyat merasakan betul dampak kerugiannya. Penjualan Pertamax awalnya diperuntukkan bagi kelas menengah yang tidak bersubsidi. Rakyat yang mampu dengan kesadaran penuh diharapkan membeli Pertamax demi meringankan beban negara. Namun kenyataannya BBM yang diperjualbelikan negara merupakan Pertalite yang diklaim menjadi Pertamax. Sungguh miris, rakyat lagi-lagi dibohongi.
Netizen di media sosial pun ramai-ramai mengungkapkan kekesalannya dengan membuat tabel klasemen 10 besar liga korupsi Indonesia. Posisi pertama ditempati oleh korupsi PT Timah yang mencapai Rp300 triliun, kedua korupsi Pertamina Rp193,7 triliun dan di posisi terakhir ditempati oleh kasus korupsi BTS Kominfo Rp8 Triliun. Bahkan kasus korupsi Bank Century Rp 7 triliun tidak masuk 10 besar liga korupsi Indonesia (disway.id, 26-2-2025).
Klasemen liga korupsi Indonesia ini menguatkan data Transparency International yang melaporkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2024 mencapai 37 poin dari 100. Angka ini masih terbilang rendah, yang diartikan bahwa Indonesia masih memiliki persepsi tinggi untuk melakukan korupsi. Ini semakin membuktikan bahwa negeri ini darurat korupsi, masa depan Indonesia gelap.
Mengapa Korupsi Membudaya?
Korupsi di Indonesia makin hari makin mengkhawatirkan sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada forum Internasional World Government Summit 2025. Ada banyak faktor mengapa korupsi di Indonesia tak mudah diberantas diantaranya, pertama, biaya politik demokrasi yang mahal. Para calon legislatif banyak mendapatkan sokongan dana dari para investor untuk memudahkan pembiayaan pencalonannya. Dana ini tentu saja tidak gratis, para pejabat ketika terpilih harus memberikan imbalan kepada para investor. Praktek perselingkuhan ini menimbulkan tindak pidana korupsi.
Kedua, minimnya pemahaman agama pada para pejabat menjadikan mereka lemah iman, takwa dan integritas dalam mengemban amanah. Mereka dengan mudahnya korupsi karena merasa tidak diperhatikan oleh Allah Swt. Agama yang mereka pegang tak mampu mengikat perilaku mereka dengan ketaatan. Mereka telah dibutakan dengan standar kebahagian materi. Dimana punya uang banyak pasti akan bahagia meski dengan cara yang haram sekalipun.
Ketiga, lemahnya penegakan hukum. Hukum yang diterapkan di Indonesia masih berstandar pada KUHP warisan Belanda. Banyak kasus korupsi yang melibatkan kerugian besar, pelaku hanya dihukum ringan. Contoh kasus PT Timah yang menjerat Harvey Moeis, pada tingkat pengadilan pertama ia hanya divonis 6,5 tahun penjara. Alhasil bagaimana korupsi tidak membudaya jika kondisinya mendukung?
Korupsi dalam Pandangan Islam
Islam sebagai agama sekaligus cara pandang terhadap kehidupan memiliki jawaban atas persoalan hidup manusia termasuk tindak pidana korupsi. Korupsi dalam Islam merupakan tindakan penggelapan atau penyelewengan uang di saat seseorang itu memiliki kekuasaan atau jabatan dan dapat dikategorikan sebagai sikap khianat, pelaku korupsi disebut khaa’in. Selain penggelapan, bentuk lain dari korupsi adalah suap-menyuap dan hadiah yang tidak sah (project fee).
Rasulullah saw. melaknat perilaku yang demikian, sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah ra., “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR Tirmidzi dan Ahmad). Hadis tersebut menjelaskan bahwa korupsi hukumnya haram.
Korupsi adalah tindak pidana yang tidak dapat ditolerir. Pejabat yang semestinya amanah dalam menjalankan tugas, justru memanfaatkan kepercayaan tersebut untuk kepentingan pribadinya. Dalam Islam, pelaku korupsi akan diberi sanksi tegas.
Sanksi untuk khaa'in bukanlah hukum potong tangan sebagaimana hukum pencuri melainkan takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya akan ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksi bisa dari sekedar nasihat, penyitaan harta, kurungan penjara, pemberian denda, pengumuman pelaku di hadapan publik, cambuk hingga hukuman mati. Teknis hukuman mati dapat dilaksanakan dengan digantung maupun dipancung. Ketentuan hukuman akan disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan si pelaku.
Sanksi tegas ini sendiri berfungsi sebagai zawajir (mencegah) dan jawabir (kemaslahatan) sehingga dapat mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama dan menjadi menebus dosa atas kesalahan yang dilakukan di dunia. Pelaksanaan hukum sanksi Islam yang diterapkan di dunia akan dapat membebaskan si pelaku dari azab di akhirat kelak dimana siksanya justru lebih berat.
Sayangnya, berharap adanya keadilan pada sanksi Sistem Sekular saat ini sangatlah mustahil. Hukuman korupsi saat ini begitu mudah dikompromikan, buktinya ada amnesti (pengampunan) dan remisi (pengurangan masa hukuman) bagi pelaku korupsi.
Sudah semestinya penguasa negeri ini memperjuangkan sistem alternatif yang dapat memberikan sanksi yang menjerakan para koruptor sehingga dapat menghentikan tindak pidana korupsi. Wallahu'alam. [ry].
Baca juga:

0 Comments: