SSCQMedia.Com—Masyarakat kiranya sudah tak kaget lagi jika ada kasus korupsi. Alasannya bisa jadi karena berita korupsi sudah sering terjadi dan solusi yang diberikan masih tidak cukup memberi efek jera untuk memberantas korupsi.
Buktinya, kasus korupsi Pertamina yang menyebabkan kerugian bagi negara dengan nilai yang fantastis, hanya cukup membuat masyarakat geram, tetapi mereka tetap skeptis atau bahkan memilih tidak peduli. Mungkin masyarakat sudah lelah dengan korupsi yang makin menjadi, tetapi tidak tahu solusi apa yang harus diterapkan agar benar-benar bisa memberantas dan memutus seluruh rantai korupsi yang ada di negeri ini.
Para koruptor sangat totalitas dalam menjalankan misi, demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tidak ada celah yang terlewatkan. Lagi-lagi rakyat yang harus dikorbankan untuk memenuhi nafsu mereka.
Kejaksaan Agung (Kejagung) awalnya mengungkap bahwa dugaan korupsi di PT Pertamina merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun pada 2023. Namun, karena kasus ini berlangsung sejak 2018, jumlah total kerugian dalam lima tahun bisa mencapai Rp968,5 triliun. (Kompas.com, 10/03/2025).
Salah satu dari tujuh orang yang ditetapkan menjadi tersangka, bahkan memiliki rekam jejak kasus korupsi yang berujung dengan penanganan yang tidak tuntas. Akankah pada kasus ini, terjadi lagi hal yang sama?
Mohammad Riza Chalid, seorang konglomerat yang memiliki berbagai usaha, termasuk bisnis kelapa sawit dan minyak bumi, pernah terseret kasus impor minyak mentah Zatapi pada tahun 2008. Ia juga terseret kasus "Papa minta saham" dalam proses perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia yang diduga melibatkan Ketua DPR Setya Novanto. Namun, proses penyelidikan dihentikan oleh Kejagung pada tahun 2016. Belakangan, ia kembali terseret kasus minyak mentah setelah anaknya Muhammad Kerry Andrianto Riza menjadi tersangka karena diduga menerima keuntungan dari kasus tersebut.
Begitulah korupsi, telah menjadi tradisi sampai dilakukan secara turun temurun. Bahkan bisa dikatakan beberapa kasus menggunakan modus yang sama, tetapi dengan pelaku yang berbeda. Dalam setiap bidang, yang berkuasalah yang punya peluang besar mencari celah terhadap kesempatan untuk korupsi.
Kondisi penguasa yang tidak amanah menjadi penyebab utama terjadinya korupsi di berbagai bidang dan lini kehidupan. Terutama di area pemerintahan yang memegang kekuasaan atas hajat hidup orang banyak.
Sistem hari ini sangat mendukung orang untuk melakukan penyelewengan demi memenuhi keinginan pribadi. Sekulerisme-kapitalisme hanya akan membuat orang berkeinginan untuk mencapai keuntungan materi sebesar-besarnya tanpa mempedulikan benar salah. Mereka mengabaikan adanya hari di mana semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan.
Dunia pendidikan yang tidak terlepas dari pengaruh sistem sekuler, tidak mampu mencetak generasi berprestasi berlandaskan takwa. Sehingga pejabat di negeri ini mulai dari tingkat bawah hingga tingkat atas, mulai dari tingkat daerah hingga tingkat pusat, memiliki kepribadian yang jauh dari kata "integritas".
Dalam Islam, sistem pendidikan akan menghasilkan generasi yang dapat memaksimalkan potensi dirinya sekaligus memiliki landasan iman dan takwa yang kuat. Sehingga ketika generasi menggantikan kekuasaan yang diemban pejabat hari ini, mereka akan menjalankannya dengan amanah, sebab mereka menyadari akan pertanggungjawaban kepada Allah atas kepemimpinan mereka, tidaklah mudah.
Setiap individu akan taat pada syariat dan saling menasehati dalam kebenaran. Negara akan menerapkan sanksi yang benar-benar menjerakan sehingga dapat memberantas korupsi di negeri ini. Tak akan lagi berlaku perumpamaan "jika seseorang meminum air laut maka dia akan semakin haus", dalam hal ini keinginan pejabat untuk korupsi. Karena negara akan memberikan upah yang sangat cukup dan layak bagi para pejabat yang mewakili urusan rakyat. Sehingga mereka akan menjalankan amanah dengan benar, ikhlas, dan sifat kanaah.
Wallahualam bissawab. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: