Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Kontributor SSCQMedia.Com, Institut Literasi dan Peradaban)
SSCQMedia.Com—Kementerian Hak Asasi Manusia mengusulkan pembentukan Undang-Undang tentang Kebebasan Beragama. Usulan pembentukan UU tersebut untuk menanggapi diskriminasi terhadap kelompok beragama minoritas atau di luar agama resmi yang diakui negara.
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, hingga menegaskan bahwa UU Kebebasan Beragama bukan UU Perlindungan Umat Beragama. Karena UU Perlindungan Beragama itu seolah-olah kita menerima fakta adanya pengekangan kebebasan beragama (detiknews.com, 12-3-2025).
Pigai juga mengatakan UU Kebebasan Beragama dibutuhkan dibandingkan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama, karena negara tidak boleh menjustifikasi adanya ketidakadilan dalam beragama. Usulan ini untuk menanggapi penurunan angka indeks demokrasi Indonesia dalam The Democracy Index 2024 oleh Economist Intelligence Unit (EIU).
Upaya Pigai lainnya untuk meningkatkan angka indeks demokrasi di tanah air yaitu dengan mengusulkan revisi Peraturan Kapolri soal ujaran kebencian hingga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Wacana Jahat Wajah Demokrasi
Kita harus waspada, karena wacana pembuatan UU Kebebasan Beragama adalah corong Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi alat Barat memecahbelah bangsa serta menghancurkan Islam. Dan memang inilah wajah demokrasi sejati, meski Pigai merujuk dari data IEU ada indeks penurunan. Nyatanya, Demokrasi masih ada dan terpelihara dengan baik oleh pendukungnya.
Jika selama ini penyematan istilah terorisme, radikalisme, Islam Fundamentalis, gagal memeyorasikan Islam karena dunia melihat siapa sesungguhnya perusak sebenarnya, yaitu kafir Barat, dengan bintang utama Israel dan Amerika. Padahal tak terhitung besaran dana sudah digelontorkan guna mensukseskan program war of terorism dunia barat kepada negeri-negeri muslim termasuk Indonesia.
Terhadap ide Khilafah juga tak kalah garang upaya pembelokan kebenarannya sebagai ajaran Islam, dengan mengatakan upaya pemecahbelah NKRI, intoleran, ideologi Khilafah terlarang dan lainnya. Namun belum menunjukkan keberhasilan propaganda sesat itu, terbukti syu'ur (perasaan) masyarakat berdasarkan sebuah survei masih menerima syariat dan Khilafah untuk diterapkan, hanya masih bercampur dengan demokrasi.
Bisa dimaklumi, karena akar demokrasi sudah sedemikian kuat mencengkeram pemikiran kaum muslim sehingga tidak lagi tersisa pemikan yang sahih tentang Islam, agama yang mereka anut dan yakini.
Dan sejatinya, wacana pembuatan UU Kebebasan Beragama masih senapas dengan moderasi beragama atau Islam Nusantara. Sasaran tembak mereka tetap Islam, baik pemeluk maupun ajarannya. Mereka adalah agen-agen kafir yang tamak kekuasaan hingga dibutakan mata dan hati terhadap kebenaran Islam.
Dan demokrasi menyuburkan perilaku itu, sebab pemimpin yang dipilih untuk mengurusi urusan rakyat adalah orang yang mau tunduk dengan arahan kafir. Tak penting kapabilitas calon pemimpin tak layak menjadi pemimpin, selama ia kooperatif dengan para pemodal besar.
Kita juga banyak diperlihatkan dengan ulama-ulama yang menjadi corong demokrasi, mengutak-atik ayat agar sesuai dengan kepentingan korporasi. Tak peduli lagi yang menjadi korban adalah rakyat, pun saudara sendiri seakidah.
Islam, Agama Sekaligus Ideologi
Khilafah bukan ideologi, demikian pula dengan Pancasila sebagaimana demokrasi, bukan idiologi. Ia hanya sistem politik dari ideologi kapitalisme. Asasnya sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan. Tujuan hidup manusia hanya berorientasi pada perolehan materi, tanpa peduli halal haram. Maka kebebasan sangat dijunjung tinggi, agar manusia bisa menumpuk apa yang disukainya tanpa batas.
Termasuk dalam beragama. Sehingga muncul opini agama minoritas atau mayoritas, dengan alasan HAM, agama seolah tak layak menjadi sumber kebenaran sejati, terutama Islam. Dan ini yang mereka sebut ketidakadilan.
Sejak Islam diturunkan kepada Rasulullah saw. dan diperintahkan untuk disebar ke seluruh alam, di situlah keadilan hakiki ditegakkan. Keadilan bukan yang dimaknai pengusung HAM, tapi keadilan Islam yang berasal dari Allah Swt., pencipta manusia, alam dan seisinya.
Maka, jelas Islam tidak mengenal HAM karena yang mengatur hak manusia bukanlah manusia itu sendiri, melainkan Allah sebagai Sang Pencipta (Al-Khâliq) dan Sang Pembuat syariat (Asy-Syâri‘). Syariat Islam telah menetapkan bahwa ketika seorang muslim memeluk Islam, ia tidak diperbolehkan untuk meninggalkan Islam, kecuali dihukumi murtad. Dan itu bukan ketidakadilan, melainkan konsekuensi keimanan.
Agama apa pun, sekalipun dalam makna yang dipaksakan sebagai agama, tetap ada konsekuensi yang diminta jika ingin memeluknya. Bedanya, konsekuensi itu berpengaruh terhadap perilaku pemeluk ada yang tidak. Islam, satu-satunya yang memberi pengaruh kepada pemeluknya dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara.
Allah Swt. berfirman yang artinya, “Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, ambillah, dan apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah.” (TQS Al-Hasyr: 7). Artinya, seorang muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan yang dibawa oleh Rasul saw., baik berupa Al-Qur'an maupun Sunah.
Bagi non muslim, syarak memang melarang memaksakan Islam menjadi agama mereka, tetapi bukan berarti membiarkan kekafiran mereka menguasai seorang muslim, bahkan hingga merendahkan hukum Islam dan mengunggulkan hukum buatan manusia guna mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Islam juga tidak membolehkan pemikiran semua agama benar kemudian menghilangkan status kafir pada yang bukan beragama Islam. Artinya, muslim tidak boleh mengakui pluralisme dan Islam moderat berdasarkan ayat di atas dan ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an.
Di sinilah urgensitas negara dibutuhkan, dengan peran yang sesungguhnya yaitu menjadi junnah (perisai) dan raa'in (periayah, pengurus) umat. Menjaga umat dari tergradasinya pemikiran Islamnya, menjaga kemurnian Islam, memaksimalkan ibadah umat sebagai hamba Allah, memberikan kesejahteraan, dan menyebarkan dakwah Islam sebagai kewajiban kepada dunia.
Negara wajib menjaga umat dari terjangan tsaqafah asing yang merusak, bahkan memberi sanksi bagi individu, masyarakat, maupun media yang mempromosikan pemahaman yang salah tentang Islam. Tsaqafah asing hanya boleh dipelajari di pendidikan tinggi untuk dikritisi soal pertentangannya dengan Islam, bukan untuk diimani.
Saking pentingnya peran negara ini, hingga Imam al-Ghazali berpendapat agama dan kekuasaan bak saudara kembar (tidak boleh dipisahkan). Beliau pun menyatakan, ”Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Apa saja yang tidak punya pondasi akan hancur. Apa saja yang tidak punya penjaga maka akan hilang.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fii al-’Itiqâd, hlm. 128, Maktabah Syamilah). Wallahualam bissawab. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: